INGIN IKLAN ANDA DISINI ?
Dapatkan Tawaran Menarik
Silahkan Kontak Admin
Terima Kasih


PEMAHAMAN TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN-PENDAHULUAN. Sistem pendidikan nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Sisdiknas merupakan bahan atau pedoman dalam pelaksanaan proses pendidikan, maupun untuk mengadakan standarisasi pendidikan. Dan hal ini mencakup ke dalam komponen-komponen pendidikan baik dalam segi konsep, teknis, maupun aplikasi yang tentunya berperan penting dalam keberhasilan dan kesuksesan pencapaian tujuan pendidikan nasional. Selain itu, sistem pendidikan nasional, menjadi acuan dalam pembuatan kebijakan pendidikan maupun manajemen pendidikan, baik di tingkat nasional, daerah, maupun sekolah. Semua itu bertujuan untuk menyiapkan maupun memproses sumber daya manusia (SDM), supaya memiliki kompetensi serta kualitas yang optimal. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan mempunyai posisi yang sangat urgent sangat menentukan arah serta jalur dalam proses pendidikan. Karena sekali salah langkah dalam pengambilan keputusan, maka akan sangat berpengaruh pada kualitas mutu pendidikan dari tingkat satuan pendidikan sampai nasional. Agar dampak negatif dapat dikurangi bahkan dihindari, maka diperlukan suatu efektivitas dan efisiensi dalam proses kebijakan pendidikan, dengan memahami secara mendalam hakikat kebijakan pendidikan itu sendiri.

Pengertian Kebijakan Pendidikan. Kebijakan Pendidikan terdiri dari dua kata yaitu kebijakan (policy) dan pendidikan (education). Kebijakan dapat diartikan sebagai: kepandaian; kemahiran; kebijaksanaan; atau rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak; pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran; garis haluan. Sedangkan Pendidikan dapat diartikan sebagai hak asasi manusia, kunci pembangunan berkelanjutan, dan perdamaian serta stabilitas dalam suatu negeri. 

Kebijakan pendidikan merupakan rumusan dari berbagai cara untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kebijakan pendidikan adalah keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi, misi pendidikan, dalam rangka untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu tertentu. Menurut Onisimus, kebijakan pendidikan apabila dikaitkan dengan kebijakan publik ialah proses, aktivitas, strategi, prosedur, dan alternatif langkah-langkah yang digunakan untuk memecahkan permasalahan pendidikan nasional yang ditetapkan secara komprehensif dalam suatu kurun waktu tertentu. 

Jadi kebijakan pendidikan dapat disimpulkan sebagai suatu rangkaian kegiatan yang meliputi perumusan, analisis, implementasi, monitoring/ pemantauan serta evaluasi seputar masalah pendidikan yang diterapkan dalam menjawab tantangan pendidikan dan diberlakukan dan diperbarui secara periodik.

Tujuan dari Kebijakan Pendidikan

Dilihat dari pemahaman tentang pandangan-pandangan dasar tujuan kebijakan apabila dihubungkan dengan dunia pendidikan dapat dikelompokkan menjadi:

Tujuan Kebijakan Dilihat dari Sisi Tingkatan Masyarakat. Tujuan kebijakan disini dapat diamati dan ditelusuri dari hakikat tujuan pendidikan yang universal. Hal tersebut merupakan analisis pada fakta dan realita yang tersebar luas di masyarakat dan dikarenakan pendidikan dalam arti umum merupakan suatu proses yang mentransfer nilai-nilai yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa baik dari segi pengetahuan maupun karakter.

Tujuan Kebijakan Dilihat dari Sisi Tingkatan Politisi. Tujuan kebijakan ini dapat diamati dan ditelusuri dari sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Pendidikan yang telah menjadi suatu kebijakan publik diharapkan dapat memberikan kontribusi yang positif supaya tercipta generasi masyarakat dalam aspek keseimbangan antara hak dan kewajiban sehingga wawasan, sikap, dan perilakunya semakin demokratis.

Tujuan Kebijakan Dilihat dari Sisi Tingkatan Ekonomi. Tujuan kebijakan ini dapat dilihat dan ditelusuri dari kesadaran pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka panjang, didasarkan pada beberapa alasan yaitu:

a) Pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekadar pertumbuhan ekonomi. Dalam bidang ekonomi, pendidikan dapat berperan sebagai pasokan energi yang terus menjamin keberlangsungan serta pengembangan ekonomi karena pendidikan merupakan dasar yang perlu dikuasai untuk memacu produktivitas serta kinerja perekonomian secara nasional. Selain itu, pendidikan dapat menjadi benteng pertahanan yang kokoh untuk memajukan kesejahteraan dengan menciptakan berbagai usaha kreatif serta inovatif dalam rangka upaya pengurangan angka pengangguran yang terjadi terutama di negara tertinggal maupun berkembang bahkan di negara maju.

b) Investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi daripada investasi fisik di bidang lain. Pendidikan mempunyai kedudukan yang cukup signifikan terutama ketika seseorang telah mengenyam pendidikan dalam menggali dan mengaktualisasikan potensi diri dan mempunyai kompetensi yang cukup mumpuni sesuai dengan bidangnya masing-masing. Namun, di sini perlu digarisbawahi bahwa investasi pendidikan juga harus mempertimbangkan tingkatan pendidikan. Karena semakin tinggi tingkatan pendidikan, maka semakin kecil manfaat sosialnya. Hal ini disebabkan semakin tinggi jenjang pendidikan maka akan semakin mengerucutkan kajian ilmu pengetahuan yang akan dibahas dan dikuasai.

Tentunya untuk meningkatkan kualitas mutu pendidikan perlu dilakukan suatu pembaruan dalam setiap kebijakan pendidikan mulai dari proses perumusan sampai pengimplementasian. Hal ini bertujuan untuk menggunakan suatu pijakan dalam melakukan analisis terhadap kebijakan yang telah diputuskan. Analisis kebijakan tersebut harus didasarkan pada nilai dan tujuan bahwa investasi dalam bidang pendidikan tidak semata-mata untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi, tetapi lebih luas lagi yaitu perkembangan ekonomi. Perkembangan ekonomi akan tercapai apabila sumber daya manusianya memiliki etika, moral, rasa tanggung jawab, rasa keadilan, jujur, serta menyadari hak dan kewajiban yang kesemuanya itu merupakan indikator hasil pendidikan yang baik. 

Prinsip dalam Kebijakan Pendidikan

Dalam kaitan dengan pembahasan mengenai kebijakan pendidikan adalah sebagai kebijakan publik, maka berikut dikemukakan beberapa prinsip:

1. Nilai-nilai pendidikan harus mewarnai setiap kebijakan negara dalam berbagai bidang (ekonomi, sosial, budaya, hukum, perdagangan, dan lain-lain) sehingga aspek-aspek kemanusiaan, keadilan sosial, keadilan ekonomi, pemerataan pembangunan, keadilan hukum, dan sebagainya mencerminkan kepribadian suatu bangsa yang bermoral dan bermartabat. Jadi, nilai-nilai pendidikan harus berperan secara proaktif untuk memasuki semua ranah bidang yang berkembang dalam masyarakat sejalan dengan era globalisasi yang semakin cepat serta memberikan pengaruh yang besar dalam kehidupan di masyarakat.

2. Pendidikan harus terbebas dari intervensi kekuasaan dan konflik kepentingan. Namun, pada kenyataannya pendidikan tidak dapat dipisahkan sebagai alat untuk merayu masyarakat secara umum dalam perebutan kekuasaan terutama ketika pada masa kampanye pemilihan umum baik tingkat pusat maupun daerah. Hal tersebut mengakibatkan penentuan pembuat kebijakan pendidikan dalam hal ini pemerintah pusat akan dipengaruhi oleh nuansa politis dan sarat dengan kepentingan tertentu.

3. Nilai-nilai pendidikan harus menjiwai sistem perpolitikan dan prinsip penyelenggaraan negara dan tata kelola pemerintahan. Pendidikan berperan memberikan masukan berupa penguasaan kompetensi serta aspek keprofesionalitas dan tidak kalah pentingnya juga harus mengubah moral dalam dunia perpolitikan maupun pengelolaan pemerintahan yang selama ini dicap negatif dan tidak mencerminkan sebagai individu yang memiliki moralitas yang terdidik.

4. Nilai-nilai pendidikan harus menjadi spirit yang menjiwai kepribadian dan budaya bangsa yang menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu). Pendidikan mempunyai peran penting yang bertugas untuk menyatukan dan memberikan keseimbangan bahwa masing-masing individu meskipun memiliki sifat dan perilaku yang berbeda-beda yang dilatarbelakangi oleh kebudayaan mereka tidak menyurutkan untuk senantiasa saling menghargai dan menghormati demi tercapainya pemerataan pendidikan secara nyata.

5. Pendidikan harus menjadi garda terdepan dari suatu proses perubahan dan menjadi lokomotif perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena pendidikan merupakan pusat atau inti dari perkembangan serta pengembangan peradaban berbagai macam bangsa dengan cara mengubah pola pikir atau mindset yang diaktualisasikan secara langsung dalam kehidupan serta mempunyai andil yang besar sebagai agen perubahan untuk memajukan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Namun, tetap mengedepankan kearifan lokal yang menjadi ciri dan kepribadian bangsa.

Fungsi-Fungsi Kebijakan dalam Pendidikan

Kebijakan dalam pendidikan ditetapkan oleh pemerintah yang mengatur pengelolaan sekolah yang tidak terbatas pada kurikulum, pedagogi, dan penilaiannya, tetapi juga kondisi guru dan pemeliharaan sarana fisik sekolah. Adapun menurut Nanang Fattah, fungsi kebijakan dalam pendidikan adalah:

1. Menyediakan akuntabilitas norma budaya yang menurut pemerintah perlu ada dalam pendidikan. Hal ini berkaitan erat dengan karakter kepribadian yang sangat beragam dan berbeda-beda. Selain itu, perlu dimasukannya muatan pelajaran pendidikan karakter terhadap masing-masing sekolah di mana sekolah harus konsekuen dan bertanggung jawab untuk bertugas menjalankan maupun memasukan pendidikan karakter sebagai penyedia layanan pendidikan.

2. Melembagakan mekanisme akuntabilitas untuk mengukur kinerja siswa dan guru. Evaluasi maupun pengawasan pendidikan diperlukan untuk menjamin ataupun menilai kualitas pendidikan didasarkan pada subjek maupun objek pendidikan. Untuk itu, perlu diupayakan pendirian suatu lembaga independen dan mandiri yang bertugas khusus untuk melakukan kegiatan evaluasi dan pengawasan sehingga sekolah dalam menjalankan proses pendidikannya dapat terkontrol dengan baik. 

Sedangkan menurut Pongtuluran fungsi kebijakan dalam pendidikan sebagai berikut:

1. Pedoman untuk bertindak. Hal ini mengungkapkan bahwa kebijakan pendidikan mempunyai posisi yang sentral dalam menentukan suatu acuan dalam implementasi program pendidikan serta sebagai tuntunan ke mana arah sistem pendidikan akan tertuju dan berjalan.

2. Pembatas perilaku. Apabila dikaitkan dengan pendidikan kebijakan pendidikan tidak dapat dilepaskan dari norma serta aturan dalam setiap tindakan yang diaktualisasikan berkaitan dengan aktivitas pendidikan. Ini diperlukan untuk membatasi sikap yang tidak sesuai atau sejalan bahkan bertentangan dengan tujuan pendidikan. 

3. Bantuan bagi pengambil keputusan. Kebijakan pendidikan di sini adalah sebagai ujung tombak dalam mengambil keputusan yang tepat dan benar setelah melalui serangkaian proses perumusan oleh para pembuat kebijakan pendidikan dan sesuai dengan tuntutan stakeholders yang berkepentingan di dunia pendidikan. 

Model Kebijakan dalam Pendidikan

Menurut Stokey dan Zeckhuaser “A model is simplified representation of some aspect of the real world. Sometimes of an object, sometimes of a situation or a process. It may be an acyual physical representation, a globe, for instance or a diagram, a concept, oe even a set a question”. Jadi, model adalah representasi dari sebuah aspek dalam dunia nyata yang disederhanakan.

Kadang-kadang model berupa objek, sebuah situasi atau proses. Namun, yang jelas model itu merupakan fisik yang nyata. Seperti globe (bola dunia), diagram, sebuah konsep dan bahkan sederet pertanyaan. 

Istilah tipe-tipe model kebijakan menurut Dunn terdiri dari enam model, yaitu model deskriptif, model normatif, model verbal, model simbolis, model procedural, model sebagai pengganti dan perspektif.

Model Deskriptif
Model deskriptif menurut Suryadi dan Tilaar adalah suatu prosedur atau cara yang digunakan untuk penelitian dalam ilmu pengetahuan baik murni maupun terapan untuk menerangkan suatu gejala yang terjadi dalam masyarakat. Sedangkan menurut Cohn model deskriptif adalah pendekatan positif yang diwujudakan dalam bentuk upaya ilmu pengetahuan menyajikan suatu “state of the art” atau keadaan apa adanya dari suatu gejalayang sedang diteliti dan perlu diketahui para pemakai. Tujuan model deskriptif oleh Dunn memprediksikan atau menjelaskan sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi dari pilihan-pilihan kebijakan.

Penafsiran secara ilmiah mengenai gejala kemasyarakatan dalam model deskriptif agar diperoleh kesepakatan umum mengenai suatu permasalahan yang sedang disoroti untuk menerangkan suatu gejala, adalah menerangkan apa adanya tentang hasil dari suatu upaya yang dilakukan oleh suatu kegiatan atau program, dan menyajikan informasi yang diperlukan sebagai bahan masukan bagi pengambilan keputusan. Misalnya, untuk meramalkan kinerja pendidikan dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, bersama konsorsium pendidikan pada tataran makro nasional mempersiapkan ramalan yang berkaitan dengan kualitas lulusan dan eliminasi angka drop out sebagai laporan bidang pendidikan oleh Presiden.

Model Normatif
Pendekatan normatif menurut Suryadi dan Tilaar disebut juga pendekatan perspektif yang merupakan upaya ilmu pengetahuan menawarkan suatu norma, kaidah, atau resep yang dapat digunakan oleh pemakai untuk memecahkan suatu masalah. Model ini bertujuan bukan hanya untuk menjelaskan dan atau memprediksi, tetapi juga memberikan dalil dan rekomendasi untuk mengoptimalkan pencapaian beberapa utilitas (nilai). Di antara beberapa jenis model normatif yang digunakan oleh para analis kebijakan adalah model normative yang membantu menentukan tingkat kapasitas pelayanan yang optimum. 

Model normatif tidak hanya memungkinkan analis atau pengambil kebijakan memperkirakan masa lalu, masa kini, dan masa dating. Pendekatan normative dalam analisis kebijakan dimaksudkan untuk membantu para pengambil keputusan (Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, dan Kepala Sekolah) memberikan gagasan hasil pemikiran agar para pengambil keputusandapat memecahkan suatu masalah kebijakan. Pendekatan normative ditekankan pada rekomendasi serangkaian tindakan yang akan dating (aksi) yang dapat menyelesaikan masalah-masalah pendidikan yang dibutuhkan oleh masyarakat pada semua jenjang dan jenis pendidikan.

Model Verbal
Dalam menggunakan model verbal, analisis bersandar pada penilaian nalar untuk membuat prediksi dan menawarkan rekomendasi. Penilaian nalar menghasilkan argumen kebijakan, bukan berbentuk nilai-nilai angka pasti. Model verbal secara relative mudah dikomunikasikan diantara para ahli dan orang awam, dan biayanya murah. Keterbatasan model verbal adalah masalah-masalah yang dipakai untuk memberikan prediksi dan rekomendasi bersifat implicit atau bersembunyi, sehingga sulit untuk memahami dan memeriksa secara kritis argument-argumen tersebut sebagai keseluruhan, karena tidak didukung informasi atau fakta yang mendasarinya.

Model Simbolis
Model simbolis menggunakan simbol-simbol matematis untuk menerangkan hubungan antara variabel-variabel kunci yang dipercaya menciri suatu masalah. Prediksi atau solusi yang optimal dari suatu masalah kebijkan diperoleh dari model-model simbolis dengan meminjam dan menggunakan metode-metode matematika, statistika, dan logika. Model-model simbolis dapat memperbaiki keputusan kebijakan, tetapi hanya jika premis-premis sebagai pijakan penyusun model dibuat eksplisit dan jelas. Tanpa verifikasi empiris hanya ada sedikit jaminan bahwa hasil praktik semacam itu dapat diandalkan untuk tujuan kebijakan normative. Karena itu penentuan kebijakan atas dasar angka-angka kuantitatif tidak cukup memadai untuk melakukan prediksi, masih perlu data kualitatif atau fakta-fakta yang riel sebagai pertimbangan prediksi dan juga penentuan kebijakan.

Model Prosedural
Model prosedural menampilkan hubungan yang dinamis antara variabel-variabel yang diyakini menjadi ciri suatu masalah kebijakan. Prosedur simulasi dan penelitian pada umumnya (meskipun tidak harus) diperoleh dengan bantuan komputer, yang diprogram untuk menghasilkan prediksi-prediksi alternatif di bawah serangkaian asumsi yang berbeda-beda. Model prosedural dicatat dengan memanfaatkan model ekspresi yang simbolis dalam penentuan kebijakan. Perbedaannya, simbolis menggunakan data aktual untuk memperkirakan hubungan antara variabel-variabel kebijakan dan hasil, sedangkan model prosedural adalah mensimulasikan hubungan antara variabel tersebut. Model prosedural dalam ditulis dalam bahasa nonteknis yang terfahami. Kelebihannya memungkinkan simulasi dan penelitian yang kreatif, kelemahannya sering mengalami kesulitan mencari data atau argument yang dapat memperkuat asumsi-asumsinya, dan biaya model procedural ini relative tinggi disbanding model verbal simbolis.

Model Sebagai Pengganti dan Perspektif
Pendekatan preskriptif menurut Suyadi dan Tilaar merupakan upaya ilmu pengetahuan menawarkan suatu norma, kaidah, atau resep yang dapat digunakan oleh pemakai memecahkan suatu masalah khususnya masalah kebijakan. Preskripsi atau rekomendasi diidentikkan dengan advokasi kebijakan, yang acapkali dipandang sebagai cara membuat keputusan idiologis atau untuk menghasilkan informasi kebijakan yang relevan dan argument-argumen yang masuk akal mengenai solusi-solusi yang memungkinkan bagi masalah publik. Jadi pengambilan kebijakan bukan atas kemauan atau kehendak para penentu kebijakan, tetapi memiliki alasan-alasan yang kuat dan kebijakan tersebut memang menjadi kebutuhan publik. Bentuk ekspressi dari model kebijakan lepas dari tujuan, menurut Dunn dapat dipandang sebagai pengganti (surrogates) atau sebagai perspektif (perspective).

Model pengganti (surrogate model) diamsusikan sebagai pengganti masalah-masalah substantif. Model pengganti mulai disadari atau tidak dari asumsi bahwa maslah formal adalah representasi yang sah dari masalah yang substantif. Model perspektif didasarkan pada asumsi bahwa masalah formal tidak pernah sepenuhnya mewakili secara sah masalah substantif, sebaliknya model perspektif dipandang sebagai satu dari banyak cara lain yang dapat digunakan untuk merumuskan masalah substantif. Perbedaan antara model pengganti dan perspektif adalah penting dalam analisis kebijakan publik. 

Pendekatan Kebijakan dalam Pendidikan

Pendekatan Empirik (Empirical)
Pendekatan empiris ditekankan pada penjelasan berbagai sebab dan akibat dari suatu kebijakan tertentu dalam bidang pendidikan yang bersifat faktual atau fakta macam informasi yang dihasilkan bersifat deskriptif dan prediktif.

Penelitian kebijakan publik bersifat empiris dan kuantitatif pada suatu organisasi dilakukan seperti masalah-masalah kemiskinan, pemberantasan buta huruf, gelandangan di kota, penyakit masyarakat, dan control politik berlawanan dengan tradisi yang lebih tua seperti spekulasi filosofis, mistik, takhayul, dan otoritas agama terutama (tidak sepenuhnya) mengandalkan observasi yang didasarkan pada pengalaman inderawi (spekulatif) untuk membenarkan pernyataan dan pengetahuan. Kebijaksanaan merupakan proses rasional dimana analisis menghasilkan informasi dan argument yang masuk akal mengenai pemecahan-pemecahan potensial atas masalah kebijaksanaan.

Dengan demikian informasi kebijakan dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pendekatan empiris akan menghasilkan informasi penyelenggaraan pembelajaran yang aktual yang dibutuhkan di lapangan pada akhirnya dapat mengarah ke pernyataan kebijakan yang bisa saja sama sekali berbeda dengan kondisi objektif di lapangan.

Pendekatan Evaluatif
Pendekatan evaluatif ditekankan pada penentuan bobot atau manfaatnya (nilai) beberapa kebijakan menghasilkan informasi yang bersifat evaluatif. Evaluasi terhadap kebijakan membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan evaluative yaitu bagaimana nilai suatu kebijakan dan menurut nilai yang mana kebijakan itu ditentukan. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa evaluasi kebijakan organisasi adalah suatu aktivitas untuk mengetahui seberapa jauh kebijakan benar-benar dapat diterapkan dan dilaksanakan serta seberapa besar dapat memberikan dampak nyata memenuhi harapan terhadap khalayak sesuai direncanakan.

Model evaluasi kebijakan terdiri dari : 
  • Evaluasi proses, yaitu samapai dimana kebijakan telah dilaksanakan oleh pihak-pihak yang terkait dengan kebijakan sesuai dengan garis-garis yang telah ditetapkan
  • Evaluasi dampak yaitu seberapa besar kebijakan ini telah menyebabkan perubahan pada tujuan yang harus dicapai. 
Sedangkan Dunn menegaskan bahwa evaluasi kebijakan organisasi digolongkan menjadi tiga, yaitu : 
  1. Evaluasi semu (pseudo evaluation) yang sekedar mempersoalkan alat-alat evaluasinya, umumnya sekadar mempersoalkan apakah alt-alat evaluasi yang dipergunakan telah memenuhi persyaratan sebagai alat evaluasi yang baik seperti sahih (valid), punya ketetapan dapat dipercaya (reliable), layak praktis (feasible), dan sebagainya.
  2. Evaluasi resmi (formal evaluation) disamping mempersoalkan validitas, realibilitas, dan feasibilitas alat-alat evaluasi, juga sekaligus melihat substansi yang dievaluasi. Informasi-informasi yang didapatkan dalam evaluasi formal ini dilihat kesahihan dan keadaannya, dan substansi-substansi yang dievaluasi juga dilihat apakah telah sesuai dengan target-target yang telah ditetapkan atau belum, 
  3. Evaluasi berdasarkan teori keputusan (decision theoretic evaluation) didasarkan atas banyak kompromi dan bahkan consensus, maka evauasi kebijakan berdasarkan teori keputusan ini selain memperhatikan kesahihan dan keandalan juga mempertimbangkan harga atau nilainya, bagi mereka yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan.
Dengan demikian evaluasi kebijakan adalah suatu aktivitas yang didesain untuk menilai sejauh mana kebijkan-kebijakan yang telah dibuat telah berhasil sesuai seperti yang diharapkan atau tidak. 

KESIMPULAN

Kebijakan pendidikan merupakan suatu rangkaian kegiatan yang meliputi perumusan, analisis, implementasi, monitoring/pemantauan serta evaluasi seputar masalah pendidikan yang diterapkan dalam menjawab tantangan pendidikan dan diberlakukan dan diperbarui secara periodik.

Tujuan dari kebijakan pendidikan diantaranya yaitu: apabila dikaitkan dengan tingkatan masyarakat tujuannya berkaitan dengan upaya menselaraskan dengan pendidikan secara universal; apabila dikaitkan dengan tingkatan politisi tujuannya pada sasaran objek pendidikan dalam rangka upaya menyeimbangkan porsi hak dan kewajiban untuk mewujudkan kehidupan yang demokratis; dan apabila dikaitkan dengan tingkatan ekonomi tujuannya sebagai investasi jangka panjang yang berhubungan dengan pengembangan perekonomian serta nilai balik pendidikan.

Prinsip-prinsip dalam kebijakan pendidikan diantaranya sebagai berikut: nilai-nilai pendidikan harus mewarnai setiap kebijakan negara dalam berbagai bidang (ekonomi, sosial, budaya, hukum, perdagangan, dan lain-lain); pendidikan harus terbebas dari intervensi kekuasaan dan konflik kepentingan; nilai-nilai pendidikan harus menjiwai sistem perpolitikan dan prinsip penyelenggaraan negara dan tata kelola pemerintahan; nilai-nilai pendidikan harus menjadi spirit yang menjiwai kepribadian dan budaya bangsa yang menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu); pendidikan harus menjadi garda terdepan dari suatu proses perubahan dan menjadi lokomotif perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Fungsi-fungsi kebijakan dalam pendidikan diantaranya ialah: menyediakan akuntabilitas norma budaya yang menurut pemerintah perlu ada dalam pendidikan; melembagakan mekanisme akuntabilitas untuk mengukur kinerja siswa dan guru.

Pendekatan kebijakan dalam pendidikan terbagi dua, yaitu Pendekatan Empirik (Empirical) dan Pendekatan Evaliatif.

Model-model kebijakan dalam pendidikan menurut Dunn terbagi menjadi enam, yaitu Model Deskriptif, Model Normatif, Model Verbal, Model Simbolis, Model Prosedural, Model Sebagai Pengganti dan Perspektif.

Posting Komentar Blogger