INGIN IKLAN ANDA DISINI ? Dapatkan Tawaran Menarik Silahkan Kontak Admin Terima Kasih |
Penjelaskan kejayaan dan kemunduran aliran muktazilah, as’ariyah serta pemikiran kalam setelah mihnah - Muktazilah adalah salah satu
aliran atau golongan yang membawa persoalan teologi yang lebih mendalam dan
filosofis dari pada persoalan persoalan yang di bawa oleh khawarij dan
murji’ah.
Mereka dijuluki kelompok rasionalis
karena menempatkan akal pada porsi yang sangat tinggi.Dengan kajian mereka yang
filosofis, mereka mampu mengangkat filsafat Islam dengan jalur falsafah.
Di sisi lain, timbulnya muktazilah
juga mendapatkan kritikan yang tajam dari berbagai pihak, antara lain
disebabkan dengan beberapa hal:
- Aliran ini di pandang terlalu
mengagungkan akal
- Golongan ini dianggap telah
melakukan atau mengadakan pendekatan dengan penguasa dalam menyebarkan
faham fahamnya terutama masa kekuasaan khalifah Al-Makmun.Ia melakukan
penekanan bahkan kekerasan terhadap para ulama untuk mengikuti pendapat mereka bahwa Al-Qur’an adalah
makhluk
Keberadaan aliran ini mempunyai
aliran penting dalam perjalan sejarah islam dan perkembangan filsafat islam.
Dengan semangat rasionalis, aliran ini mampu mengantarkan umat pada masa Daulah
Abbasiyah ke puncak kejayaan peradaban islam dan ilmu pengetahuan.
Penamaan aliran muktazilah kepada aliran ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ahli, diantaranya:
Penamaan aliran muktazilah kepada aliran ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ahli, diantaranya:
- Penyebutan istilah muktazilah
sudah dipahami semenjak masa para sahabat, dimana kata I’tizal dan
muktazilah dinisbatkan kepada orang yang melepaskan diri dari masalah
politik, karena mereka tidak terlibat dalam peperangan jamal ( Aisyah,
Thalhah dan Zubeir dengan Ali ) dan perang shiffin ( Muawiyah dengan Ali
).
- Penamaan muktazilah popular
setelah Wasil bin Atha berbeda pendapat dengan gurunya yang bernama Hasan
Al-Basry tentang masalah dosa besar.
Tapi kelompok muktazilah lebih
cendrung memberi kelompok mereka dengan sebutan Al-‘Adlu wa-Tauhid ( golongan
keadilan dan tauhid ).
Pendiri aliran ini adalah Washil bin
Atha dengan nama lengkap beliau adalah Abu Huzaifah Washil ibnu Atha Al-Gazzal,
lahir di Madinah pada tahun 80 H / 629 M pada masa pemerintahan Bani Umayyah,
masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan sampai masa Khalifah Marwan bin Muhammad
kemudian dia oindah ke Madinah.
Washil mempunyai pemikiran yang
cemerlang, cerdas dan pengetahuannya luas, analisisnya tajam dan pandai
mentakwilkan ayat ayat Al-Qur’an, yang pada zahirnya tidak sesuai dengan
pikiran beliau.
Disamping itu ahli logika pandai menangkal
pendapat lawan-lawannya. Di dalam pengembangan pemikirannya ia di Bantu oleh
Umar bin Ubaid. Dalam pengembangan paham dan ajarannya ia mengutus murid murid
pilihannya ke berbagai daerah yang meliputi kawasan Arab dan Persia. Diantara
muridnya adalah Abdullah bin Haris ke wilayah Maroko, Haf ibnu Salaim ke
Khurasan, Qasimbin Said ke Yaman, ayub ke Mesir dan Usman bin Thawil ke
Armenia.
Pesatnya perkembangan dan penyebaran
aliran muktazilah ini berkat campur tangan penguasa, baik pada masa
pemerintahan Daulah Bani Umayyah maupun Bani Abbasiyah.
Aliran ini dilaksanakan oleh Negara
mulai dari penguasa sampai rakyat biasa. Aliran muktazilah sangat mengagungkan
akal pikiran sehingga mendapat dukungan dari para intelektual
Masa krisi muktazilah dimulai pada
masa pemerintahan Al-Mutawakkil pada tahun 232 – 274 h / 847 – 861 m, sebagai
khalifah yang menggantikan Al-Wasiq (228 – 232 / 842 – 847).
Terjadinya krisis karena sebelumnya
khalifah Al-Makmun tidak mau memakai orang – orang yang berkeyakinan bahwa
Al-Qur’an adalah qadim.
Setelah beberapa puluh tahun lamanya
golongan muktazilah mencapai kepesatan dan kemegahanya, akhirnya mengalami
kemunduran. Kemunduran ini sebenarnya karena perbuatan mereka sendiri.Mereka
hendak membela dan memperjuangkan kebebasan berfikir akan tetapi mereka sendiri
memusuhi orang orang yang tidak sepaham dengan mereka.
Puncak tindakan mereka ialah ketika
Al-Makmun menjadi khalifah dimana mereka dapat memaksakan pendapat dan
keyakinan mereka kepada golongan golongan lain dengan menggunakan kekuasaan
Al-Makmun, yang mengakibatkan timbulnya peristiwa Qur’an yang memecah kaum
muslimin menjadi dua blok, yaitu blok yang menuju kekuatan akal fikiran dan
menundukkan agama kepada ketentuannya dan blok lain yang berpegang teguh bunyi
nash nash Al-Qur’an dan Hadist semata mata dan menganggap tiap tiap yang baru
sebagai bid’ah dan kafir.
Akan tetapi persengketaan tersebut
dapat dibatasi dengan tindakan Al-Mutawakkil, lawan golongan muktazilah, untuk
mengembalikan kekuasaan golongan yang mempercayai keazalian Qur’an. Sejak saat
tersebut golongan muktazilah mengalami tekanan berat, sedang sebelumnya menjadi
pihak yang menekan. Kitab kitab mereka di baker dan kekuatannya dicerai
beraikan sehingga kemudian tidak lagi ada aliran muktazilah sebagai suatu
golongan, terutama sesudah As’ary dapat mengalahkan mereka.dalam bidang
pemikiran.
Akan tetapi mundurnya golongan
muktazilah sebagai golongan yang teratur tidak menghalangi lahirnya simpatisan
dan pengikut yang setia yang menyiarkan
ajarannya. Pada akhir abad ketiga H muncullah Al-Khayyat yang dianggap sumber
yang asli untuk mengetahui pendapat pendapat/pikiran pikiran muktazilah. Pada
permulaan abad ke 4 muncullah Abu Bakar Al-Ikhsidy (wafat 320H/932) dengan
alirannya yang sangat berpengaruh selama abad ke empat.
Ulama muktazilah angkatan baru yang
terkenal adalah Az-Zamakhsary (467 – 538 H / 1075 – 1144 M) yang menafsirkan
Qur’an atas dasar dasar ajaran muktazilah dengan nama Al-Kassyaf, tafsir ini
sangat berpengaruh dan lama sekali menjadi pegangan ahli sunnah sampai lahirnya
tafsir Baidawy. Kegiatan muktazilah baru hilang setelah adanya serangan orang
Mongolia.
Kalau pemikiran islam pada masa
muktazilah bercorak rasionalis murni, maka pada masa sesudahnya berobah
coraknya sedemikian rupa, sehingga bisa diterima sebagai alat memperkuat ajaran
ajaran agama dan tali penghubung taklid buta yang memegang teguh teks teks / nash
nash dengan pentakwilan nash sebagai jalan untuk menundukkan agama kepada akal
pikiran semata – mata. Tali penghubung tersebut adalah diadakan oleh orang yang
terdidik atas paham muktazilah dan memeluk ajarannya, akan tetapi pada akhirnya
ia meninggalkan ajaran ajaran tersebut dan dijelaskannya ajarannya yang di bawa
sendiri, terkenal kemudian dengan ajaran aliran ahlusunnah waljamaah, ahli
pikir tersebut adalah as’ariyah.
- Khalifah terlalu memaksakan
kehendaknya
- Banyak ulama yang dibunuh
karena tidak sependapat dengan penguasa
- Khalifah Al-Mutawakkil
membatalkan pemakaian mazhab resmi muktazilah dan digantikan dengan mazhab
As’ariyah
- Muktazilah semakin lama semakin
tersisih dari panggung sejarah.Hal ini terjadi karena bani Saljuk
menggulingkan bani Buwaihi
- Buku buku muktazilah tidak lagi
dipakai dan dipelajari di perguruan
tinggi.
Dalam perjalanan aliran muktazilah
muncul lagi pada abad ke XX dan dipelajari di perguruan tinggi seperti
Universitas Al-Azhar. Aliran muktazilah juga ada nilai positifnya dan
memberikan sumbangan kepada kemajuan islam
Pendirinya adalah Hasan Ali bin
Ismail Al-‘As’Ary lahir di Basrah 280 H / 873M. As’ary adalah seorang tokoh
muktazilah yang tidak setuju dengan paham muktazilah, seperti yang telah kita
ketahui di masa pemerintahan khalifah Al-Makmun orang orang di paksa menganut
aliran muktazilah yaitu pemaksaan terhadap Al-Qur’an makhluk, dilanjutkan
dengan khalifah Al-Muktashim dan khalifah Al-Wasiq.
Akhirnya karena ketidak setujuan Abu
Hasan AlAs’ary ini terhadap paham muktazilah dia melepaskan diri untuk membela
agama islam yang dikenal dengan aliran ahli sunnah waljamah. Ketidak setujuan
As’Ariyah terhadap paham muktazilah adalah :
- Muktazilah menganggap Al-Qur’an
adalah makhluk
- Menafsirkan Al-Qur’an dengan
sesuka hati
- Tidak pernah memeriksa
asbabunnuzul
- Mengingkari syafaat
Pikiran pikiran As’ary yang
mengambil jalan tengah antara golongan yang berlawanan atau anatara rasionalis
dan tekstualis.Dalam mengemukakan dalil dan alas an ia juga memakai dalil dalil
aqal dan naqal bersama-sama.sesudah ia mempercayai Al-Qur’an dan Hadist, ia
mencari alas an dari akal oikiran untuk memperkuatnya.
Jadi ia tidak menganggap akal pikiran
sebagai hokum atas nash nash agama untuk mentakwilkan dan melampaui ketentuan
arti lahirnya, melainkan dianggap sebagai penguat arti lahir dari nash
tersebut.Namun ia tidak meninggalkan cara yang lazim di pakai oleh ahli
filsafat dan logika, sesuai dengan alam pikiran masanya.
Pemikiran pemikiran As’ary tersebut
dapat diterima oleh kebanyakan umat islam karena sederhana dan filosofis.
Akibatnya dalam waktu singkat pendapatnya itu memperoleh dukungan yang yang
tidak sedikit jumlahnya. Faktor lain yang mempercepat proses perkembanagnnya
adalah dukungan dari pemerintahan Al-Mutawakkil, khalifah pengganti Al-Wasiq
pada waktu itu. Mutawakkil membatalkan pemakaian mazhab resmi Negara terhada
paham muktazilah.
Aliran ini pernah mendapat tantangan
keras dari pihak penguasa yaitu ketika dinasti Abbasiyah berada dalam pengaruh
Bani Buwaihi yang berpaham muktazilah. Sampai masa kekuasaan Bani Buwaihi jatuh
ke tangan Bani Saljuk, kelompok As’ariyah masih belum mendapat hati penguasa.
Penguasa Bani Saljuk dan perdana mentri Abu Nasr Muhammad bin Mansur al-Kudri
melakukan tekanan terhadap golongan As’ariyah berupa kutukan dan cacian pada
khutbah jumat dan ceramah di mesjid, bahkan tokoh As’ariyah di larang mengajar
dan memberikan khutbah.
Al-Kudri juga mengeluarkan perintah
untuk menangkap pemuka pemuka untuk dipenjarakan, pemuka yang ditangkap adalah
Abu Kasim Abdul karim al-Qusyari. Dengan demikian aliran ini menjadi terhambat
penyiarannya.
Intimidasi terhadap aliran as’aroyah
berakhir setelah terjadi penggantian kekuasaan oleh Nizam Al-Mulk (1063-1092). Aliran
As’ariyah kemudian mengalami kemajuan yang sangat pesat, bahkan mampu
mendominasi dalam pikiran dunia islam. Penyebaran ajaran ini ke berbagai
pelosok dunia islam ini dilakukan oleh madrasah Nizamiyah yang didirikan Nizam
Al-Mulk.Melalui sekolah inilah pikiran dan pendapat as’ariyah berkembang dan di
ajarkan.
Di Mesir dan Suriah teologi
As’ariyah juga berkembang dengan subur karena mendapat dukungan yang kuat dari
penguasa, yakni Dinasti Ayubiyah. Salahuddin Yusuf AlAyyubi pendiri dinasti
Al-Ayyubi yang menghapuskan paham sistem pengajaran syiah peninggalan dinasti
fatimiyah mengganti dengan system pengajaran yang bercorak Sunni As’ary. Di
Andalus dan Afrika Utara (kawasan Magribi) aliran ini disebar luaskan oleh Ibnu
Tumart pendiri Dinasti Muwahhidun. Di masa sebelumnya, yakni masa pemerintahan
Dinasti Murabthun, buku buku yang berisi paham As’aryah di larang beredar.
Aliran As’aryah berkembang di dunia
Timur, India, Afganistan, Pakistan sampai ke Indonesia berkat jasa dan dukungan
Mahmud Gaznawi ( 971 H – 1030 M ) pendiri Dinasti Gaznawi yang berpusat di
India. Untuk selanjutnya penyebaran paham paham As’ary dilakukan oleh pengikut
pengikutnya. Khususnya di Indonesia pemikiran As’ary di pelajari melalui karya
Al-Gazali dan As-Sanusi.
Pikiran As’ary mengambil jalan
tengah antara rasionalis dan tekstualis dan dalam menggunakan dalil As’ary juga
memakai dalil aqal dan dalil naqal. Sesudah ia mempercayai Al-Qur’an dan Hadis
ia juga mencari alasan dengan akal pikiran. Ia tidak menganggap akal sebagai
hakim untuk nash nash agama untuk mentakwilkan melainkan sebagai penguat.
Meskipun demikian As’ary tetap setia
terhadap Imam Ahmad bin Hambal penganut aliran Ahlussunah yang menentang
muktazilah sebelum as’ariyah. Bahkan ia mengikuti ulama salaf yaitu sahabat dan
tabiin, terutama dalam menghadapi ayat ayat mutasyabihat di mana mereka tidak
memerlukan takwil, pengurangan atau melebihkan arti dari lahirnya.
Akan tetapi aliran As’ariyah
sepeninggal pendirinya sendiri mengalami perkembangan dan perubahan yang cepat,
karena pada akhirnya aliran As’ariyah lebih condong kepada segi akal murni.
Kecendrungan inilah yang membuat dan
menyebabkan mengapa orang orang pengikut mazhab Hambali ( AhluSunnah ) merasa
tidak puas terhadap aliran As’ariyah dan mengadakan perlawanan yang sengit
terhadap mereka, seperti yang pernah dilakukannya terhadap aliran muktazilah
dan puncak perlawanannya terjadi pada masa IBNU TAYMIYAH.
Akan tetapi walau bagaimanapun
prinsip yang dipegang oleh aliran As’ariyah, namun ia dapat di terima atau di
peluk kebanyakan kaum muslimin sampai sekarang.
Aliran As’ariyah Mendapat Kejayaan
Karena
- Ajarannya sangat sederhana dapat diterima oleh kalangan umat islam
- Perkembangan aliran ini mendapat dukungan pemerintahan Bani Abbas yang berkuasa pada saat itu
- Ajaran Asy’ariyah resmi sebagai pengganti ajaran muktazilah
- Kemampuan Asy’ari dalam mempertahankan pendapatnya dari serangan lawan – lawannya
- Asy’ari mempunyai ilmu pengetahuan yang mendalam/ luas di bidang keislaman
- Mendapat tantangan dari penguasa ketika dinasti Abbasiyah berada dalam pengaruh Bani Buwaihi (ia berpaham muktazilah)
- Kelompok As’ariyah belum mendapat tempat di hati penguasa seperti Bani Saljuk, Tugrid, Beg dan perdana mentri Abu Nashar Muhammad bin Manshur Al-Kundari (semua mereka selalu memberi tekanan kepada aliran As’ari )
- Sering mendapat intimidasi dari kalngan tokoh seperti di larangnya Abu Qasim Abdul Karim Al-Qushary memberikan khutbah. Setelah mengalami kemunduran, aliran As’ary muncul kembali dan didukung oleh kalangan tokoh seperti Nizam Al-Mulk. Aliran As’ariyah mendirikan madrasah Nizamiyah yang didirikan oleh Al-Mulk. Madrasah ini yang menerapkan kurikulum aliran As’ariyah
- Mendapat dukungan dari kalangan
tokoh dan penguasa seperti Dinasti Ayyubiyah (Salahuddin Al-Ayyubi)
- Perkembangan aliran As’ariyah
di Afrika Utara (Magrib) yang dikembangkan oleh Ibnu Tumart (Muwahhidin)
- Perkembangan di Indonesia /
pada mulanya As’ariyah berkembang di India,Afganistan,Pakistan dan sampai
ke Indonesia.
- Penyebaran di Indonesia di bawa
oleh Mahmud Ghaznawi (971 – 1030 m) pendiri dinasti Ghaznawi
- Di Indonesia ajaran As’ary dipelajari melalui karya Al-Ghazali dan As-Sanusi
Faktor Kejayaan Aliran Muktazlah dan
As’ariyah
Muktazilah
|
As’ariyah
|
|
|
Faktor Kemunduran Aliran Muktazlah
dan As’ariyah
Muktazilah
|
As’ariyah
|
|
|
Aliran Mu’tazilah selaku aliran
rasional yang sangat mengagumkan akal mendapat dukungan pada intelektual secara
luas pada masa pemerintahan khalifah al ma’mun, penguasa abbasiyah ( 813 s/d
833 M ) bahkan khalifah al ma’mun menjadikan aliran mu’tazilah sebagai mazhab
resmi Negara. Hal ini disebabkan karena al Ma’mun sejak kecil dididik dalam
tradisi Yunani yang gemar akan ilmu pengetahuan dan filsafat.
Dalam fase kejayaan itu, mu’tazilah
sebagai golongan yang mendapat dukungan penguasa memaksakan ajarannya kepada
kelompok lain. Pemaksaan ini dikenal dalam sejarah dengan peristiwa mignah inquisition. Mihnah itu timbul
sehubungan dengan paham – paham Khalq
Al-Qur’an. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah
SWT yang tersusun dari suara dan huruf – huruf. Al-Qur’an itu makhluk, dalam
arti diciptakan Tuhan, karena diciptakan berarti iya sesuatu yang baru, jadi
tidak kadim. Jika kadim maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang kadim selain
Allah SWT dan ini musyrik hukumnya.
Khalifah Al-Mu’mun menginstruksikan
supaya diadakan pengujian terhadap aparat pemerintahan (mihnah) tentang keyakinan mereka akan paham ini. Sejarah mencatat
banyak tokoh dan pejabat pemerintah yang disiksa, diantaranya Imam Hambali.
Bahkan ada ulama yang dibunuh karena tidak sepaham dengan aliran Mu’tazilah,
seperti Al-Khuzzai dan Al-Buwaiti. Peristiwa ini sangat mengoncangkan umat
Islam dan baru berakhir setelah Al-Mutawakkil memerintah (232 – 274 H / 842 –
847 M) memegang tampuk pemerintahan menggantikan Al-Wasiq (228 – 232 H / 842 –
847 M ).
Dimasa Al-Mutawakkil, dominasi
aliran Mu’tazilah menurun dan menjadi tidak simpatik di mata masyarakat.
Keadaan ini semakin memburuk setelah Al-Mutawakkil membatalkan pemakaian aliran
Mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara dan menggantinya dengan aliran
Asy’ariyah.
Dalam perjalanan selanjutnya, kaum
Mu’taziah muncul kembali di zaman berkuasanya Dinasti Buwaihi di Bagdad.Tetapi
tidak lama karena Bani Buwaihi segera digulingkan Bani Seljuk yang pemimpinnya
cenderung pada Asy’ariyah, terutama sejak pemerintahan Al-Arslan dengan perdana
mentrinya Nizam Al-Mulk.
Selama berabad – abad kemudian
Mu’tazilah tersisih dari panggung sejarah, tersisih oleh Aliran Ahlussunnah
Waljamaah. Diantara yang mempercepat hilangnya aliran mereka ialah buku – buku
mereka tidak lagi dibaca dan dipelajari di perguruan – perguruan Islam. Namun
sejak awal abad ke-20 berbagai karya Mu’tazilah ditemukan kembali dan
dipelajari di berbagai perguruan Islam, seperti di Universitas Al Azhar. Dengan
demikian pandangan terhadap Mu’tazilah menjadi lebih jernih dan segi – segi
positif dari ajarannya serta sumbangannya terhadap kepentingan Islam mulai
diketahui.
Aliran ahlussunnah waljamaah timbul
sebagai reaksi terhadap faham-faham golongan muktazilah yang telah dijelaskan
sebelumnya dan terhadap sikap mereka dalam menyiarkan ajaran ajaran itu. Mulai
dari Wasil usaha usaha telah dijalankan untuk menyebarkan ajaran ajaranya itu, disamping
usaha usaha yang dijalankan dalam
menentang serangan musuh musuh islam.
Menurut ibnu al-Murtadha, wasil
mengirim murid-muridnya ke Khurasan, Armenia, Yaman, Maroko. Kelihatannya murid
murid itu berhasil dalam usah-usaha mereka,karena menurut Yakut di Tahar suatu
tempat didelat tilsam di Maroko terdapat kurang lebih 30 ribu pengikut Wasil.
Mulai dari tahun 100 h kaum
muktazilah dengan perlahan lahan memperoleh pengaruh dalam masyarakat
islam.Pengaruh itu mencapai puncaknya di zaman khaloifah Al-Makmun, Al-Muktashim
dan Al-Wasiq (813-847M) apalagi setelah Al-Makmun mengakui muktazilah sebagai
mazhab resmi yang dianut Negara.
Bagi Makmun orang yang mempunyai paham
syirik tidak bisa dipakai untuk menempati posisi penting dalam Negara dan
pemerintahan. Oleh karena itu dia mengirim instruksi kepada gubernur untuk
mengadakan ujian terhadap pemuka pemuka pemerintahan dan kemudian juga terhadap
pemuka pemuka yang berpengaruh. Dengan demikian timbullah dalam sejarah islam
apa yang di sebut mihnah.
Contoh dari surat yang mengandung
instruksi itu terdapat dalam tarikh tabari. Yang pertama sekali harus menjalani
ujian ialah para hakim (alqadhi). Instruksi itu menjelaskan bahwa al-Quran
adalah qadim dan dengan demikian orang yang di uji menjadi musrik dan dia tidak
berhak untuk menjadi hakim. Bukan pejabat saja yang di uji akan tetapi
pemuka-pemuka masyarakat juga di uji, termasuk Ahmad bin Hanbal.
Salah satu dialog gubernur Irak
dengan Ahmad bin Hanbal adalah
Ishaq : Apa pendapatmu tentang
Al-Qur’an
Ibn Hambal : Sabda Tuhan
Ishaq : Apakah ia diciptakan?
Ibn Hanbal: Sabda Tuhan,saya tak
dapat mengatakan lebih dari itu
Dalam ujian selanjutnya keyakinan
Ahmad bin Hanbal tidak berubah dan ia bersikeras dengan keyakinannya
itu.Sehingga Ahmad bin Hanbal di belenggu dan dipenjarakan dan dihadapkan
kepada Al-Makmun. Tetapi sebelum dihadapkan ke Makmun, kahliafah tersebut
meninggal duniaujian dilanjutkan ke khalifah Muktashim dan al-Wasiq, akan tetapi
para khalifah tersebut tidak berani membunuh Ahmad bin Hambal.
Akhirnya datanglah khalifah
Al-Mutawakkil membatalkan pemakaian mazhab aliran muktazilah sebagai mazhab
resmi Negara /pemerintahan pada tahun 848 M, dengan demikian selesailah riwayat
mihnah yang ditimbulkan kaum muktazilah dan ketika itumulailahmenurun pengaruh
dan arti kaum muktazilah. Peristiwa itu merugikan bagi kaum muktazilah lawan
mereka semakin banyak, terutama dikalangan rakyat biasa yang tak dapat
menyelami ajaran ajaran mereka yang bersifat rasional dan filosofis.
Selanjutnya kaum muktazilah tidak
begitu banyak berpegang kepada sunnah atau tradisi, yang menambah keterpurukan
kaum muktazilah.Dari sisnilah bangkitnya aliran As’ariyah yang lebih term
memakai hadist / sunnah.
Posting Komentar Blogger Facebook