INGIN IKLAN ANDA DISINI ?
Dapatkan Tawaran Menarik
Silahkan Kontak Admin
Terima Kasih


Penjelaskan kejayaan dan kemunduran aliran muktazilah, as’ariyah serta pemikiran kalam setelah mihnah - Muktazilah adalah salah satu aliran atau golongan yang membawa persoalan teologi yang lebih mendalam dan filosofis dari pada persoalan persoalan yang di bawa oleh khawarij dan murji’ah.

Mereka dijuluki kelompok rasionalis karena menempatkan akal pada porsi yang sangat tinggi.Dengan kajian mereka yang filosofis, mereka mampu mengangkat filsafat Islam dengan jalur falsafah.

http://www.ponpeshamka.com/2015/11/penjelaskan-kejayaan-dan-kemunduran.html
Di sisi lain, timbulnya muktazilah juga mendapatkan kritikan yang tajam dari berbagai pihak, antara lain disebabkan dengan beberapa hal:
  1. Aliran ini di pandang terlalu mengagungkan akal
  2. Golongan ini dianggap telah melakukan atau mengadakan pendekatan dengan penguasa dalam menyebarkan faham fahamnya terutama masa kekuasaan khalifah Al-Makmun.Ia melakukan penekanan bahkan kekerasan terhadap para ulama untuk mengikuti  pendapat mereka bahwa Al-Qur’an adalah makhluk
Keberadaan aliran ini mempunyai aliran penting dalam perjalan sejarah islam dan perkembangan filsafat islam. Dengan semangat rasionalis, aliran ini mampu mengantarkan umat pada masa Daulah Abbasiyah ke puncak kejayaan peradaban islam dan ilmu pengetahuan.

Penamaan aliran muktazilah kepada aliran ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ahli, diantaranya:
  1. Penyebutan istilah muktazilah sudah dipahami semenjak masa para sahabat, dimana kata I’tizal dan muktazilah dinisbatkan kepada orang yang melepaskan diri dari masalah politik, karena mereka tidak terlibat dalam peperangan jamal ( Aisyah, Thalhah dan Zubeir dengan Ali ) dan perang shiffin ( Muawiyah dengan Ali ).
  2. Penamaan muktazilah popular setelah Wasil bin Atha berbeda pendapat dengan gurunya yang bernama Hasan Al-Basry tentang masalah dosa besar.
Tapi kelompok muktazilah lebih cendrung memberi kelompok mereka dengan sebutan Al-‘Adlu wa-Tauhid ( golongan keadilan dan tauhid ).

Pendiri aliran ini adalah Washil bin Atha dengan nama lengkap beliau adalah Abu Huzaifah Washil ibnu Atha Al-Gazzal, lahir di Madinah pada tahun 80 H / 629 M pada masa pemerintahan Bani Umayyah, masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan sampai masa Khalifah Marwan bin Muhammad kemudian dia oindah ke Madinah.

Washil mempunyai pemikiran yang cemerlang, cerdas dan pengetahuannya luas, analisisnya tajam dan pandai mentakwilkan ayat ayat Al-Qur’an, yang pada zahirnya tidak sesuai dengan pikiran beliau.

Disamping itu ahli logika pandai menangkal pendapat lawan-lawannya. Di dalam pengembangan pemikirannya ia di Bantu oleh Umar bin Ubaid. Dalam pengembangan paham dan ajarannya ia mengutus murid murid pilihannya ke berbagai daerah yang meliputi kawasan Arab dan Persia. Diantara muridnya adalah Abdullah bin Haris ke wilayah Maroko, Haf ibnu Salaim ke Khurasan, Qasimbin Said ke Yaman, ayub ke Mesir dan Usman bin Thawil ke Armenia.

Pesatnya perkembangan dan penyebaran aliran muktazilah ini berkat campur tangan penguasa, baik pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayyah maupun Bani Abbasiyah.


Aliran ini dilaksanakan oleh Negara mulai dari penguasa sampai rakyat biasa. Aliran muktazilah sangat mengagungkan akal pikiran sehingga mendapat dukungan dari para intelektual

Masa krisi muktazilah dimulai pada masa pemerintahan Al-Mutawakkil pada tahun 232 – 274 h / 847 – 861 m, sebagai khalifah yang menggantikan Al-Wasiq (228 – 232 / 842 – 847).
Terjadinya krisis karena sebelumnya khalifah Al-Makmun tidak mau memakai orang – orang yang berkeyakinan bahwa Al-Qur’an adalah qadim.


Setelah beberapa puluh tahun lamanya golongan muktazilah mencapai kepesatan dan kemegahanya, akhirnya mengalami kemunduran. Kemunduran ini sebenarnya karena perbuatan mereka sendiri.Mereka hendak membela dan memperjuangkan kebebasan berfikir akan tetapi mereka sendiri memusuhi orang orang yang tidak sepaham dengan mereka.

Puncak tindakan mereka ialah ketika Al-Makmun menjadi khalifah dimana mereka dapat memaksakan pendapat dan keyakinan mereka kepada golongan golongan lain dengan menggunakan kekuasaan Al-Makmun, yang mengakibatkan timbulnya peristiwa Qur’an yang memecah kaum muslimin menjadi dua blok, yaitu blok yang menuju kekuatan akal fikiran dan menundukkan agama kepada ketentuannya dan blok lain yang berpegang teguh bunyi nash nash Al-Qur’an dan Hadist semata mata dan menganggap tiap tiap yang baru sebagai bid’ah dan kafir.

Akan tetapi persengketaan tersebut dapat dibatasi dengan tindakan Al-Mutawakkil, lawan golongan muktazilah, untuk mengembalikan kekuasaan golongan yang mempercayai keazalian Qur’an. Sejak saat tersebut golongan muktazilah mengalami tekanan berat, sedang sebelumnya menjadi pihak yang menekan. Kitab kitab mereka di baker dan kekuatannya dicerai beraikan sehingga kemudian tidak lagi ada aliran muktazilah sebagai suatu golongan, terutama sesudah As’ary dapat mengalahkan mereka.dalam bidang pemikiran.

Akan tetapi mundurnya golongan muktazilah sebagai golongan yang teratur tidak menghalangi lahirnya simpatisan dan pengikut yang   setia yang menyiarkan ajarannya. Pada akhir abad ketiga H muncullah Al-Khayyat yang dianggap sumber yang asli untuk mengetahui pendapat pendapat/pikiran pikiran muktazilah. Pada permulaan abad ke 4 muncullah Abu Bakar Al-Ikhsidy (wafat 320H/932) dengan alirannya yang sangat berpengaruh selama abad ke empat.

Ulama muktazilah angkatan baru yang terkenal adalah Az-Zamakhsary (467 – 538 H / 1075 – 1144 M) yang menafsirkan Qur’an atas dasar dasar ajaran muktazilah dengan nama Al-Kassyaf, tafsir ini sangat berpengaruh dan lama sekali menjadi pegangan ahli sunnah sampai lahirnya tafsir Baidawy. Kegiatan muktazilah baru hilang setelah adanya serangan orang Mongolia.

Kalau pemikiran islam pada masa muktazilah bercorak rasionalis murni, maka pada masa sesudahnya berobah coraknya sedemikian rupa, sehingga bisa diterima sebagai alat memperkuat ajaran ajaran agama dan tali penghubung taklid buta yang memegang teguh teks teks / nash nash dengan pentakwilan nash sebagai jalan untuk menundukkan agama kepada akal pikiran semata – mata. Tali penghubung tersebut adalah diadakan oleh orang yang terdidik atas paham muktazilah dan memeluk ajarannya, akan tetapi pada akhirnya ia meninggalkan ajaran ajaran tersebut dan dijelaskannya ajarannya yang di bawa sendiri, terkenal kemudian dengan ajaran aliran ahlusunnah waljamaah, ahli pikir tersebut adalah as’ariyah.

  1. Khalifah terlalu memaksakan kehendaknya
  2. Banyak ulama yang dibunuh karena tidak sependapat dengan penguasa
  3. Khalifah Al-Mutawakkil membatalkan pemakaian mazhab resmi muktazilah dan digantikan dengan mazhab As’ariyah
  4. Muktazilah semakin lama semakin tersisih dari panggung sejarah.Hal ini terjadi karena bani Saljuk menggulingkan bani Buwaihi
  5. Buku buku muktazilah tidak lagi dipakai  dan dipelajari di perguruan tinggi.

Dalam perjalanan aliran muktazilah muncul lagi pada abad ke XX dan dipelajari di perguruan tinggi seperti Universitas Al-Azhar. Aliran muktazilah juga ada nilai positifnya dan memberikan sumbangan kepada kemajuan islam


Pendirinya adalah Hasan Ali bin Ismail Al-‘As’Ary lahir di Basrah 280 H / 873M. As’ary adalah seorang tokoh muktazilah yang tidak setuju dengan paham muktazilah, seperti yang telah kita ketahui di masa pemerintahan khalifah Al-Makmun orang orang di paksa menganut aliran muktazilah yaitu pemaksaan terhadap Al-Qur’an makhluk, dilanjutkan dengan khalifah Al-Muktashim dan khalifah Al-Wasiq.

Akhirnya karena ketidak setujuan Abu Hasan AlAs’ary ini terhadap paham muktazilah dia melepaskan diri untuk membela agama islam yang dikenal dengan aliran ahli sunnah waljamah. Ketidak setujuan As’Ariyah terhadap paham muktazilah adalah :
  1. Muktazilah menganggap Al-Qur’an adalah makhluk
  2. Menafsirkan Al-Qur’an dengan sesuka hati
  3. Tidak pernah memeriksa asbabunnuzul
  4. Mengingkari syafaat

Pikiran pikiran As’ary yang mengambil jalan tengah antara golongan yang berlawanan atau anatara rasionalis dan tekstualis.Dalam mengemukakan dalil dan alas an ia juga memakai dalil dalil aqal dan naqal bersama-sama.sesudah ia mempercayai Al-Qur’an dan Hadist, ia mencari alas an dari akal oikiran untuk memperkuatnya.

Jadi ia tidak menganggap akal pikiran sebagai hokum atas nash nash agama untuk mentakwilkan dan melampaui ketentuan arti lahirnya, melainkan dianggap sebagai penguat arti lahir dari nash tersebut.Namun ia tidak meninggalkan cara yang lazim di pakai oleh ahli filsafat dan logika, sesuai dengan alam pikiran masanya.

Pemikiran pemikiran As’ary tersebut dapat diterima oleh kebanyakan umat islam karena sederhana dan filosofis. Akibatnya dalam waktu singkat pendapatnya itu memperoleh dukungan yang yang tidak sedikit jumlahnya. Faktor lain yang mempercepat proses perkembanagnnya adalah dukungan dari pemerintahan Al-Mutawakkil, khalifah pengganti Al-Wasiq pada waktu itu. Mutawakkil membatalkan pemakaian mazhab resmi Negara terhada paham muktazilah.

Aliran ini pernah mendapat tantangan keras dari pihak penguasa yaitu ketika dinasti Abbasiyah berada dalam pengaruh Bani Buwaihi yang berpaham muktazilah. Sampai masa kekuasaan Bani Buwaihi jatuh ke tangan Bani Saljuk, kelompok As’ariyah masih belum mendapat hati penguasa. Penguasa Bani Saljuk dan perdana mentri Abu Nasr Muhammad bin Mansur al-Kudri melakukan tekanan terhadap golongan As’ariyah berupa kutukan dan cacian pada khutbah jumat dan ceramah di mesjid, bahkan tokoh As’ariyah di larang mengajar dan memberikan khutbah.

Al-Kudri juga mengeluarkan perintah untuk menangkap pemuka pemuka untuk dipenjarakan, pemuka yang ditangkap adalah Abu Kasim Abdul karim al-Qusyari. Dengan demikian aliran ini menjadi terhambat penyiarannya.

Intimidasi terhadap aliran as’aroyah berakhir setelah terjadi penggantian kekuasaan oleh Nizam Al-Mulk (1063-1092). Aliran As’ariyah kemudian mengalami kemajuan yang sangat pesat, bahkan mampu mendominasi dalam pikiran dunia islam. Penyebaran ajaran ini ke berbagai pelosok dunia islam ini dilakukan oleh madrasah Nizamiyah yang didirikan Nizam Al-Mulk.Melalui sekolah inilah pikiran dan pendapat as’ariyah berkembang dan di ajarkan.

Di Mesir dan Suriah teologi As’ariyah juga berkembang dengan subur karena mendapat dukungan yang kuat dari penguasa, yakni Dinasti Ayubiyah. Salahuddin Yusuf AlAyyubi pendiri dinasti Al-Ayyubi yang menghapuskan paham sistem pengajaran syiah peninggalan dinasti fatimiyah mengganti dengan system pengajaran yang bercorak Sunni As’ary. Di Andalus dan Afrika Utara (kawasan Magribi) aliran ini disebar luaskan oleh Ibnu Tumart pendiri Dinasti Muwahhidun. Di masa sebelumnya, yakni masa pemerintahan Dinasti Murabthun, buku buku yang berisi paham As’aryah di larang beredar.

Aliran As’aryah berkembang di dunia Timur, India, Afganistan, Pakistan sampai ke Indonesia berkat jasa dan dukungan Mahmud Gaznawi ( 971 H – 1030 M ) pendiri Dinasti Gaznawi yang berpusat di India. Untuk selanjutnya penyebaran paham paham As’ary dilakukan oleh pengikut pengikutnya. Khususnya di Indonesia pemikiran As’ary di pelajari melalui karya Al-Gazali dan As-Sanusi.

Pikiran As’ary mengambil jalan tengah antara rasionalis dan tekstualis dan dalam menggunakan dalil As’ary juga memakai dalil aqal dan dalil naqal. Sesudah ia mempercayai Al-Qur’an dan Hadis ia juga mencari alasan dengan akal pikiran. Ia tidak menganggap akal sebagai hakim untuk nash nash agama untuk mentakwilkan melainkan sebagai penguat.

Meskipun demikian As’ary tetap setia terhadap Imam Ahmad bin Hambal penganut aliran Ahlussunah yang menentang muktazilah sebelum as’ariyah. Bahkan ia mengikuti ulama salaf yaitu sahabat dan tabiin, terutama dalam menghadapi ayat ayat mutasyabihat di mana mereka tidak memerlukan takwil, pengurangan atau melebihkan arti dari lahirnya.

Akan tetapi aliran As’ariyah sepeninggal pendirinya sendiri mengalami perkembangan dan perubahan yang cepat, karena pada akhirnya aliran As’ariyah lebih condong kepada segi akal murni.

Kecendrungan inilah yang membuat dan menyebabkan mengapa orang orang pengikut mazhab Hambali ( AhluSunnah ) merasa tidak puas terhadap aliran As’ariyah dan mengadakan perlawanan yang sengit terhadap mereka, seperti yang pernah dilakukannya terhadap aliran muktazilah dan puncak perlawanannya terjadi pada masa IBNU TAYMIYAH.

Akan tetapi walau bagaimanapun prinsip yang dipegang oleh aliran As’ariyah, namun ia dapat di terima atau di peluk kebanyakan kaum muslimin sampai sekarang.

Aliran As’ariyah Mendapat Kejayaan Karena
  1. Ajarannya sangat sederhana dapat diterima oleh kalangan umat islam
  2. Perkembangan aliran ini mendapat dukungan pemerintahan Bani Abbas yang berkuasa pada saat itu
  3. Ajaran Asy’ariyah resmi sebagai pengganti ajaran muktazilah
  4. Kemampuan Asy’ari dalam mempertahankan pendapatnya dari serangan lawan – lawannya
  5. Asy’ari mempunyai ilmu pengetahuan yang mendalam/ luas di bidang keislaman

  1. Mendapat tantangan dari penguasa ketika dinasti Abbasiyah berada dalam pengaruh Bani Buwaihi (ia berpaham muktazilah)
  2. Kelompok As’ariyah belum mendapat tempat di hati penguasa seperti Bani Saljuk, Tugrid, Beg dan perdana mentri Abu Nashar Muhammad bin Manshur Al-Kundari (semua mereka selalu memberi tekanan kepada aliran As’ari )
  3. Sering mendapat intimidasi dari kalngan tokoh seperti di larangnya Abu Qasim Abdul Karim Al-Qushary memberikan khutbah. Setelah mengalami kemunduran, aliran As’ary muncul kembali dan didukung oleh kalangan tokoh seperti Nizam Al-Mulk. Aliran As’ariyah mendirikan madrasah Nizamiyah yang didirikan oleh Al-Mulk. Madrasah ini yang menerapkan kurikulum aliran As’ariyah

  1. Mendapat dukungan dari kalangan tokoh dan penguasa seperti Dinasti Ayyubiyah (Salahuddin Al-Ayyubi)
  2. Perkembangan aliran As’ariyah di Afrika Utara (Magrib) yang dikembangkan oleh Ibnu Tumart (Muwahhidin)
  3. Perkembangan di Indonesia / pada mulanya As’ariyah berkembang di India,Afganistan,Pakistan dan sampai ke Indonesia.
  4. Penyebaran di Indonesia di bawa oleh Mahmud Ghaznawi (971 – 1030 m) pendiri dinasti Ghaznawi
  5. Di Indonesia ajaran As’ary dipelajari melalui karya Al-Ghazali dan As-Sanusi 

Faktor Kejayaan Aliran Muktazlah dan As’ariyah

Muktazilah
As’ariyah
  • Didukung oleh kaum intelektual yang mengangungkan akal dan cendrung terhadap filsafat
  • Mengutamakan akal dari pada naqal
  • Didukung oleh penguasa
  • Mengembangkan ajarannya melalui perdebatan
  • Karya tokoh – tokohnya lebih diwarnai oleh filsafat Yunani
  • Didukung oleh intelektual yang cendrung pada Al-Qur’an dan Sunnah
  • Mengutamakan naqal dan akal
  • Didukung oleh penguasa di waktu kejayaan
  • Mensosialisasaikan ajarannya melalui penguasa
  • Mengembangkan ajarannya melalui pendidikan dan lembaga social
  • Karya tokoh lebih berorientasi kepada Al-Qur’an dan Sunnah dan mengoreksi kesalahan filsafat


Faktor Kemunduran Aliran Muktazlah dan As’ariyah

Muktazilah
As’ariyah
  • Arogan dan leiberal
  • Sering meresahkan masyarakat
  • Mempermudah ijtihad
  • Cacat karena terlalu banyak mempergunakan logika sehingga terlahirnya JIL
  • Sederhana sangat mudah dipengaruhi oleh tradisi di mana ia berkembang
  • Terlalu mudah menerima tradisi masyarakat
  • Tidak banyak berijtihad sehingga lambat menyikapi perubahan zaman
  • Cacat karena terlalu mudah membela tradisi


Aliran Mu’tazilah selaku aliran rasional yang sangat mengagumkan akal mendapat dukungan pada intelektual secara luas pada masa pemerintahan khalifah al ma’mun, penguasa abbasiyah ( 813 s/d 833 M ) bahkan khalifah al ma’mun menjadikan aliran mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara. Hal ini disebabkan karena al Ma’mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan ilmu pengetahuan dan filsafat.

Dalam fase kejayaan itu, mu’tazilah sebagai golongan yang mendapat dukungan penguasa memaksakan ajarannya kepada kelompok lain. Pemaksaan ini dikenal dalam sejarah dengan peristiwa mignah inquisition. Mihnah itu timbul sehubungan dengan paham – paham Khalq Al-Qur’an. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang tersusun dari suara dan huruf – huruf. Al-Qur’an itu makhluk, dalam arti diciptakan Tuhan, karena diciptakan berarti iya sesuatu yang baru, jadi tidak kadim. Jika kadim maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang kadim selain Allah SWT dan ini musyrik hukumnya.

Khalifah Al-Mu’mun menginstruksikan supaya diadakan pengujian terhadap aparat pemerintahan (mihnah) tentang keyakinan mereka akan paham ini. Sejarah mencatat banyak tokoh dan pejabat pemerintah yang disiksa, diantaranya Imam Hambali. Bahkan ada ulama yang dibunuh karena tidak sepaham dengan aliran Mu’tazilah, seperti Al-Khuzzai dan Al-Buwaiti. Peristiwa ini sangat mengoncangkan umat Islam dan baru berakhir setelah Al-Mutawakkil memerintah (232 – 274 H / 842 – 847 M) memegang tampuk pemerintahan menggantikan Al-Wasiq (228 – 232 H / 842 – 847 M ).

Dimasa Al-Mutawakkil, dominasi aliran Mu’tazilah menurun dan menjadi tidak simpatik di mata masyarakat. Keadaan ini semakin memburuk setelah Al-Mutawakkil membatalkan pemakaian aliran Mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara dan menggantinya dengan aliran Asy’ariyah.

Dalam perjalanan selanjutnya, kaum Mu’taziah muncul kembali di zaman berkuasanya Dinasti Buwaihi di Bagdad.Tetapi tidak lama karena Bani Buwaihi segera digulingkan Bani Seljuk yang pemimpinnya cenderung pada Asy’ariyah, terutama sejak pemerintahan Al-Arslan dengan perdana mentrinya Nizam Al-Mulk.

Selama berabad – abad kemudian Mu’tazilah tersisih dari panggung sejarah, tersisih oleh Aliran Ahlussunnah Waljamaah. Diantara yang mempercepat hilangnya aliran mereka ialah buku – buku mereka tidak lagi dibaca dan dipelajari di perguruan – perguruan Islam. Namun sejak awal abad ke-20 berbagai karya Mu’tazilah ditemukan kembali dan dipelajari di berbagai perguruan Islam, seperti di Universitas Al Azhar. Dengan demikian pandangan terhadap Mu’tazilah menjadi lebih jernih dan segi – segi positif dari ajarannya serta sumbangannya terhadap kepentingan Islam mulai diketahui.


Aliran ahlussunnah waljamaah timbul sebagai reaksi terhadap faham-faham golongan muktazilah yang telah dijelaskan sebelumnya dan terhadap sikap mereka dalam menyiarkan ajaran ajaran itu. Mulai dari Wasil usaha usaha telah dijalankan untuk menyebarkan ajaran ajaranya itu, disamping usaha usaha  yang dijalankan dalam menentang serangan musuh musuh islam.

Menurut ibnu al-Murtadha, wasil mengirim murid-muridnya ke Khurasan, Armenia, Yaman, Maroko. Kelihatannya murid murid itu berhasil dalam usah-usaha mereka,karena menurut Yakut di Tahar suatu tempat didelat tilsam di Maroko terdapat kurang lebih 30 ribu pengikut Wasil.

Mulai dari tahun 100 h kaum muktazilah dengan perlahan lahan memperoleh pengaruh dalam masyarakat islam.Pengaruh itu mencapai puncaknya di zaman khaloifah Al-Makmun, Al-Muktashim dan Al-Wasiq (813-847M) apalagi setelah Al-Makmun mengakui muktazilah sebagai mazhab resmi yang dianut Negara.

Bagi Makmun orang yang mempunyai paham syirik tidak bisa dipakai untuk menempati posisi penting dalam Negara dan pemerintahan. Oleh karena itu dia mengirim instruksi kepada gubernur untuk mengadakan ujian terhadap pemuka pemuka pemerintahan dan kemudian juga terhadap pemuka pemuka yang berpengaruh. Dengan demikian timbullah dalam sejarah islam apa yang di sebut mihnah.

Contoh dari surat yang mengandung instruksi itu terdapat dalam tarikh tabari. Yang pertama sekali harus menjalani ujian ialah para hakim (alqadhi). Instruksi itu menjelaskan bahwa al-Quran adalah qadim dan dengan demikian orang yang di uji menjadi musrik dan dia tidak berhak untuk menjadi hakim. Bukan pejabat saja yang di uji akan tetapi pemuka-pemuka masyarakat juga di uji, termasuk Ahmad bin Hanbal.

Salah satu dialog gubernur Irak dengan Ahmad bin Hanbal adalah
Ishaq : Apa pendapatmu tentang Al-Qur’an
Ibn Hambal : Sabda Tuhan
Ishaq : Apakah ia diciptakan?
Ibn Hanbal: Sabda Tuhan,saya tak dapat mengatakan lebih dari itu

Dalam ujian selanjutnya keyakinan Ahmad bin Hanbal tidak berubah dan ia bersikeras dengan keyakinannya itu.Sehingga Ahmad bin Hanbal di belenggu dan dipenjarakan dan dihadapkan kepada Al-Makmun. Tetapi sebelum dihadapkan ke Makmun, kahliafah tersebut meninggal duniaujian dilanjutkan ke khalifah Muktashim dan al-Wasiq, akan tetapi para khalifah tersebut tidak berani membunuh Ahmad bin Hambal.

Akhirnya datanglah khalifah Al-Mutawakkil membatalkan pemakaian mazhab aliran muktazilah sebagai mazhab resmi Negara /pemerintahan pada tahun 848 M, dengan demikian selesailah riwayat mihnah yang ditimbulkan kaum muktazilah dan ketika itumulailahmenurun pengaruh dan arti kaum muktazilah. Peristiwa itu merugikan bagi kaum muktazilah lawan mereka semakin banyak, terutama dikalangan rakyat biasa yang tak dapat menyelami ajaran ajaran mereka yang bersifat rasional dan filosofis.


Selanjutnya kaum muktazilah tidak begitu banyak berpegang kepada sunnah atau tradisi, yang menambah keterpurukan kaum muktazilah.Dari sisnilah bangkitnya aliran As’ariyah yang lebih term memakai hadist / sunnah.

Posting Komentar Blogger