INGIN IKLAN ANDA DISINI ?
Dapatkan Tawaran Menarik
Silahkan Kontak Admin
Terima Kasih


Penjelasan Pokok Ilmu Kalam perspektif Aliran Kalam - Problematika teologis di kalangan umat Islam baru muncul pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib (656-661 M) yang ditandai dengan munculnya kelompok dari pendukung Ali yang memisahkan diri karena tidak setuju dengan sikap Ali yang menerima tahkim dalam menyelesaikan konfliknya dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Kelak kelompok tersebut dikenal dengan sebutan Khawarij (pembelot, atau pemberontak, atau yang keluar).

Kelompok yang kedua muncul adalah Rhawafidl (Syi’ah), kebalikan Khawarij, mereka adalah pendukung Ali. Selanjutnya muncul aliran Murji’ah pada akhir kurun pertama (akhir masa sahabat). Selanjutnya pada awal kurun kedua (masa Thabi’in) muncul faham Jabariyah. Kemunculan berikutnya adalah Mu’tazilah, Qodariyah kemudian Asy’ariyah dan Maturidiyah.

http://www.ponpeshamka.com/2018/02/penjelasan-pokok-ilmu-kalan-perspektif.html
Dari masing-masing aliran kalam memiliki pemahaman yang berbeda tentang berbagai masalah ketuhanan dan lainnya, yang kemudian menimbulkan argumentasi-argumentasi yang diperdebatkan untuk membela masing-masing golongan. diantara permasalahan tersebuta antara lain :

Kata “akal” yang telah menjadi kosa kata bahasa Indonesia, secara etimologis berasal dari bahasa Arab, yaitu al-‘aql (العقل) yang berarti: ikatan, pikiran, pemahaman dan pengertian. Kata عقل dapat diartikan sebagai cahaya rohaniah yang dengannya dapat dijangkau sesuatu yang  tidak dapat dicapai oleh indra. 

Kata akal dapat juga ditemui penggunaannya dalam Alquran sebanyak 49 kali, meski hanya dalam bentuk kata kerja (فعل). Dalam hal ini, kata عقلوه 1 kali, kata تعقلون 24 kali, kata نعقل 1 kali, kata يعقلها 1 kali, sedangkan kata يعقلون sebanyak 22 kali. Dari kata-kata tersebut mempunyai dua arti pokok, yaitu berarti faham dan mengerti. 

Secara terminologis, kata akal dapat diartikan sebagai, daya pikir yang memberikan kekuatan kepada manusia untuk merancang dan mengoreksi serta mengukuhkan sesuatu dan menetapkan keputusan di antara berbagai macam hal yang ditemui manusia dalam mencapai apa yang diinginkan.

Selain itu, Harun Nasution mendefinisikan akal sebagai daya pikir yang dianugrahkan Allah kepada manusia untuk menghasilkan pengetahuan melalui kesan-kesan yang diperoleh pancaindra. Akal dalam pengertian Islam, tidak dimaksudkan sebagai otak, tetapi merupakan daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia untuk memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Akal dalam pengertian inilah yang kemudian dikontraskan (dalam Islam) dengan wahyu, sebagai sumber pengetahuan dari luar diri manusia, yaitu dari Allah Swt. 

Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa akal yang terdapat dalam diri manusia, merupakan suatu daya yang dengannya manusia dapat hidup bermutu dan dinamis, karena tingkah laku dan perbuatan manusia dilakukan atas dasar pengertian atau pengetahuan dan motivasi untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.

Kata “wahyu” berasal dari bahasa Arab yaitu الوحي yang berarti suara, api,dan kecepatan. Di samping itu, kata wahyu juga berarti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Selanjutnya, ia juga mengandung makna pemberitahuan secara sembunyi dan dengan cepat.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata wahyu diartikan sebagai “petunjuk dari Allah yang diturunkan hanya kepada para Nabi dan Rasul melalui mimpi dan sebagainya”. Dalam kedudukannya sebagai petunjuk, wahyu juga dapat diartikan sebagai pemberitahuan (informasi) dari Allah yang diberikan kepada orang-orang pilihannya (Rasul) untuk disampaikan kepada manusia agar dijadikan sebagai pegangan hidup. Ia mengandung ajaran, petunjuk dan pedoman yang berguna bagi manusia untuk perjalanan hidupnya di dunia dan akhirat.

Definisi yang lebih luas dikemukakan oleh Muhammad Abduh, ia mengatakan bahwa wahyu adalah pengetahuan yang didapat sesorang pada dirinya sendiri dengan suatu keyakinan bahwa pengetahuan itu datang dari Allah swt. Di sini, Muhammad Abduh melihat wahyu tidak hanya ditujukan kepada Nabi dan Rasul saja, tetapi juga kepada manusia biasa.

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa akal dapat dimiliki oleh setiap manusia dan inheren dalam dirinya. Sedangkan wahyu merupakan informasi dari Tuhan yang berada di luar diri manusia. Namun, fungsi kedua alat ini sama-sama untuk menghasilkan pengetahuan, meskipun tingkat kebenarannya berbeda. Dalam hal ini, kebenaran yang diperoleh dari wahyu bersifat absolut, sedangkan kebenaran yang diperoleh melalui akal bersifat relatif. Wahyu bersumber dari Allah, sedangkan akal bersumber dari manusia.

Kaum Mu‘tazilah dikenal sebagai aliran yang paling banyak menggunakan akal dalam pembahasan-pambahasan teologinya, sehingga ia dijuluki sebagai kaum rasionalis Islam. Dalam pandangannya mengenai peranan akal dan wahyu untuk mengetahui keempat hal tersebut di atas, tokoh-tokoh aliran Mu‘tazilah sependapat, bahwa pokok-pokok pengetahuan (tentang Tuhan serta baik dan buruk) dan mensyukuri nikmat adalah wajib, sebelum turunnya wahyu. Hal ini berarti, bahwa mengetahui Tuhan; mengetahui baik dan buruk; kewajiban bersyukur atas nikmat yang diberikan Tuhan; serta mengetahui kewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk dapat diketahui oleh akal manusia. Sehingga, seandainya tidak ada wahyu pun, manusia tetap dapat mengtahuinya. Dengan penalaran akalnya, manusia bisa berkesimpulan bahwa berterimakasih kepada Tuhan adalah wajib sebelum datangnya wahyu.

Meskipun demikian, tidaklah berarti bahwa Mu‘tazilah menafikan peranan wahyu. Wahyu menurut mereka tetap memiliki peranan yang sangat penting dalam keempat masalah tersebut. Dalam kaitan ini, wahyu memiliki fungsi konfirmasi dan informasi, memperkuat apa yang telah diketahui akal dan menerangkan apa yang belum diketahui oleh akal. Hanya saja, menurut Mu‘tazilah, wahyu tidak selamanya yang menentukan apa yang baik dan apa yang buruk, karena akal, bagi Mu‘tazilah dapat mengetahui sebagian yang baik dan sebagian dari yang buruk. Dalam artian, akal dapat mengetahui garis-garis besarnya, sedangkan rinciannya diperoleh melalui wahyu. Misalnya, sungguhpun akal dapat mengetahui Tuhan, akan tetapi akal tidak dapat menentukan jenis Tuhan yang sesungguhnya, sehingga apa yang digambarkan oleh akal itu dapat saja berubah-ubah. Demikian halnya tentang perbuatan baik dan buruk, ada saja yang tidak dapat dijangkau oleh akal, misalnya, penyembelihan binatang untuk keperluan tertentu.

Dalam kaitannya dengan perbuatan baik dan buruk ini, kaum Mu‘tazilah membedakan antara قبائح عقلية serta مناكير عقلية perbuatan-perbuatan yang tidak baik menurut akal dan قبا ئح شرعيةSerta مناكير شرعية perbuatan-perbuatan yang tidak baik menurut wahyu. Begitu pula dibedakan antara kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh akal واجبات عقلية serta تكليف عقل dengan kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh wahyu واجبات شرعية serta تكليف سم. Dalam kaitan ini, akal hanya dapat mengetahui garis-garis besarnya saja dari kewajiban-kewajiban manusia, sedangkan perinciannya - sebagaimana pendapat Abdul Jabbar – hanya dapat diketahui melalui wahyu.

Selanjutnya, fungsi lain dari wahyu, menurut al-Syahrastani adalah untuk mengingatkan manusia tentang kewajibannya dan mempercepat untuk mengetahuinya atau memperpendek jalan untuk mengetahui Tuhan.

Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa meskipun aliran Mu‘tazilah memberikan peranan yang besar kepada akal, namun, tetap dalam keterbatasannya sebagai akal manusia, yang hanya mampu mengetahui baik dan buruknya sesuatu secara universal. Sedangkan kebaikan yang bersifat lokal dan varsial hanya dapat diketahui melalui wahyu. Selanjutnya, wahyu menurut Mu‘tazilah, di samping sangat berperan untuk mengetahui perincian dari apa yang baik dan buruk, juga dimaksudkan sebagai dasar pembenaran bagi Tuhan untuk memberikan ganjaran terhadap manusia di hari kemudian.

Berbeda dengan aliran Mu‘tazilah, aliran Asy‘ariyah yang termasuk dalam golongan Ahlus Sunnah Wal Jama‘ah memberikan peranan yang lebih besar kepada wahyu dalam mengetahui keempat persoalan tersebut di atas.

Menurut al-Asy‘ari, segala kewajiban (yang harus dilakukan oleh) manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tidak dapat membuatu sesuatu menjadi wajib dan tidak dapat mengetahui, bahwa mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang jahat (buruk) itu adalah wajib bagi manusia. Memang betul, bahwa akal dapat mengetahui Tuhan dan perlunya berterima kasih kepadaNya. Namun, melalui wahyulah manusia dapat mengetahui, bahwa orang yang taat kepada Tuhan akan mendapat pahala (balasan baik) dan orang yang berbuat maksiat kepada-Nya akan mendapat hukuman (siksa). Akal menurut Asy‘ari, tidak mampu mengetahui kewajiban manusia. Untuk itulah wahyu diperlukan, yakni untuk menetapkan mana yang wajib dan mana yang tidak, mana perintah dan mana larangan dari Tuhan.

Dengan demikian, jika sekiranya wahyu tidak ada, manusia tak akan tahu kewajiban-kewajibannya, bahkan – kata al-Gazali – sekiranya syari‘at tidak ada, manusia tidak akan berkewajiban mengetahui Tuhan dan tidak wajib pula berterima kasih kepada-Nya atas nikmat-nikmat yang diturunkan kepada manusia. Demikian juga soal baik dan buruk, ia hanya diketahui melalui perintah dan larangan Tuhan.

Dalam penjelasannya, al-Syahrastani menyatakan bahwa semua kewajiban diketahui melalui wahyu, sedangkan pengetahuan, semuanya dapat diperoleh melalui akal. Karena itu, akal tidak dapat mewajibkan untuk berbuat baik dan meninggalkan kejahatan, juga tidak bisa menuntut dan menentukan suatu kewajiban. Dalam kaitan ini, al-Taftazani menjelaskan, bahwa (bagi Asy‘ariyah) sanksi hukum untuk perbuatan orang yang berakal belum ada, sebelum datangnya syara‘. Jadi tetapnya suatu hukum adalah atas landasan syara‘, bukan dengan akal. Akal dalam hal ini, hanyalah merupakan alat untuk memahami khitab syara‘. Pendapat ini juga didukung oleh al-Gazali, bahkan ia menegaskan, bahwa al-Hakim (pembuat hukum) adalah Allah swt., dan tidak ada sanksi hukum sebelum datangnya ketentuan syara‘. Hal ini lebih dipertegas lagi oleh al-‘Amidi dengan mengatakan, bahwa tidak ada hakim (pembuat hukum) kecuali Allah swt., dan tidak ada hukum kecuali yang telah ditetapkan oleh Allah. Akal tidak punya wewenang menilai sesuatu perbuatan apakah baik atau buruk, dan tidak ada hukum sebelum datangnya ketentuan syara‘.Tegasnya, tidak ada hukum taklif (tuntutan dan larangan) sebelum datangnya wahyu.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa akal bagi Asya‘ariyah hanya dapat mengetahui Tuhan. Namun, akal tidak punya otoritas (wewenang) untuk menetapkan kewajiban. Yang menetapkan adalah al-Hakim (pembuat hukum) yakni Allah swt. Berbeda dengan Mu‘tazilah yang menjadikan akal sebagai al-Hakim. Dengan kata lain, Asy‘ariyah memberikan fungsi yang lebih kecil kepada akal, sedangkan Mu‘tazilah wewenang akal lebih banyak. Dalam hal ini, akal menurut Asy‘ariyah kemampuannya terbatas dalam hal mengetahui eksistensi Tuhan. Akal diperlukan untuk memahami wahyu.

Nama aliran ini identik dengan pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad Ibnu Mahmud al-Maturidy. Dalam faham teologinya, al-Maturidy banyak terpengaruh oleh pemikiran Imam Abu Hanifah, yang juga banyak menggunakan rasio dalam pandangan keagamaannya. Meski demikian, sistem pemikiran teologinya masih dalam kategori Ahlu Sunnah. 
Dalam kaitannya dengan pembahasan tentang akal dan wahyu ini aliran Maturidiyah terbagi kepada dua kelompok, yaitu Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara.

Aliran ini dianggap oleh beberapa kalangan lebih dekat corak pemikirannya kepada Mu‘tazilah dalam bidang teologi dari pada ke Asy‘ariyah. 
Dalam pandangannya tentang otoritas akal dan wahyu, kaitannya dengan keempat masalah pokok tersebut, Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa akal dapat mengetahui eksistensi Tuhan, oleh karena Allah sendiri yang memerintahkan manusia untuk menyelidiki dan merenungi alam ini. Hal ini menunjukkan bahwa akal manusia dapat mencapai ma‘rifatullah. Oleh karen itu, akal sudah mengetahui tentang kewajiban mengetahui Tuhan sebelum datangnya wahyu. Sehingga akan berdosa bila tidak percaya kepada Tuhan sebelum datangnya wahyu. 

Demikian halnya dengan kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, menurut Maturidiyah Samarkand, akal dapat mengetahui keawajiban menusia untuk berterima kasih kepada Tuhan, meski tampa bantuan wahyu. 

Begitu pula mengenai baik dan buruk, akal pun dapat mengetahui sifat baik yang terdapat di dalamnya, dan sifat buruk yang terdapat dalam yang buruk. Dengan demikian, akal juga dapat mengetahui bahwa yang buruk adalah buruk dan berbuat baik adalah baik. Akal selanjutnya akan membawa kepada kemuliaan dan melarang manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang membawa kepada kerendahan. Perintah dan larangan dengan demikian menjadi wajib dengan kemestian akal. Namun, yang diketahui akal hanyalah sebab wajibnya perintah dan larangan itu. Adapun mengenai kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk, akal tidak berdaya untuk mewajibkannya. Karena kewajiban tersebut hanya dapat diketahui oleh wahyu. 

Dari uraian tersebut di atas, dapat dipahami bahwa aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat, bahwa akal dapat mengetahui tiga dari empat persoalan pokok tersebut, yakni: Mengetahui Tuhan; kewajiban mengetahui Tuhan (berterima kasih kepada Tuhan); serta mengetahui baik dan buruk. Sedangkan yang terakhir, kewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang jahat adalah wewenang wahyu atau Tuhan.

Jika Maturidiyah Samarkand ditokohi oleh Abu Mansur al-Maturidy sendiri, maka Maturaidiyah Bukhara, tokohnya adalah Abu Yusr Muhammad al-Bazdawy. Pemikiran teologi dari kedua tokoh ini sedikit berbeda dan tidak terlalu mendasar. Perbedaannya hanya pada sekitar masalah kewajiban-kewajiban manusia dalam hubungannya dengan Tuhan.

Al-Bazdawy mengatakan bahwa akal tidak dapat mengetahui kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk, karena akal hanya dapat mengetahui baik dan buruk saja. Sedangkan yang menentukan kewajiban mengenai yang baik dan buruk itu adalah Tuhan sendiri. Demikian halnya dengan kewajiban mengetahui Tuhan. Akal hanya mampu mengetahui Tuhan, tetapi ia tidak dapat mengetahui dan menentukan kewajiban mengetahui Tuhan. Dalam hal ini, yang mengetahui dan menentukannya adalah wahyu. 

Pada perinsipnya, akal menurut paham aliran Maturidiyah Bukhara, tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban, melainkan hanya dapat mengetahui sebab-sebab dari proses kewajiban itu menjadi wajib. Oleh karenanya, mengetahui Tuhan dalam arti berterima kasih kepada Tuhan, sebelum turunnya wahyu tidaklah wajib bagi manusia. Bahkan mereka (para alim ulama Bukhara) berpendapat bahwa sebelum datangnya Rasul, percaya kepada Tuhan tidaklah wajib dan tidak percaya kepada Tuhan bukanlah suatu dosa. Dari sini, kelihatan bahwa Maturidiyah Bukhara lebih mendekati faham Asy‘ariyah yang lebih mempungsikan wahyu ketimbang akal.

Merujuk pada uraian keempat aliran teologi Islam tersebut di atas, maka dapat dinyatakan bahwa pandangan masing-masing aliran tidaklah sama antara satu dengan yang lainnya. Masing-masing aliran memberikan porsi tersendiri dalam menempatkan peranan akal dan wahyu. Mu‘tazilah misalnya, memberikan porsi paling besar kepada akal, dibanding dengan ketiga aliran lainnya. Bagi Mu‘tazilah, keempat masalah yang diperbincangkan itu, semuanya dapat diperoleh melalui akal. Hal ini berarti, bahwa porsi kekuatan wahyu bagi Mu‘tazilah lebih kecil dibanding dengan akal.

Berbeda dengan Mu‘tazilah, aliran Asy‘ariyah justru memberikan porsi yang besar kepada wahyu jika dibanding dengan ketiga aliran lainnya. Menurut kaum Asy‘ariyah, hanya satu di antara keempat pengetahuan itu yang dapat diketahui oleh akal. Sedangkan tiga yang lainnya, hanya bisa dicapai dengan wahyu. Hal ini berarti, bahwa aliran Asy‘ariyah memberikan porsi paling besar kepada wahyu dan paling kecil kepada akal.

Sedangkan aliran Maturidiyah yang terdiri dari dua cabang itu, menempati posisi tengah antara Mu‘tazilah dan Asy‘ariyah. Meski demikian, kedua cabang Maturidiyah tersebut sedikit mempunyai perbedaan.

Maturidiyah Samarkand lebih dekat kepada Mu‘tazilah, karena aliran ini berpendapat bahwa dari keempat pokok masalah tersebut, tiga diantaranya dapat diketahui oleh akal, sedangkan yang satunya hanya dapat diketahui melalui wahyu.

Adapun Maturidiyah Bukhara, dalam pandangannya terhadap akal dan wahyu, lebih mendekati pemikiran Asy‘ariyah. Meskipun pada kenyataannya memberikan porsi yang sama antara akal dan wahyu. Dalam hal ini, dari empat masalah pokok tersebut, dua di antaranya dapat diketahui oleh akal, sedangkan dua yang lainnya lagi hanya dapat diketahui melalui wahyu.

Untuk lebih jelasnya, perbandingan ini dapat dianalogikan ke dalam bentuk nilai (harga), yaitu, jika disusun dalam skala prioritas, sesuai dengan tingkat penghargaannya antara akal dan wahyu, maka akan terlihat dalam urutan sebagai berikut:
1.  Mu‘tazilah: Memberikan nilai 4 (empat) kepada akal, dan nilai positif (0 +) pada wahyu
2.  Maturidiyah Samarkand: Memberikan nilai 3 (tiga) pada akal, dan nilai 1 (satu) pada wahyu.
3.  Maturidiyah Bukhara: Memberikan nilai 2 (dua) pada akal dan 2 (dua) pada wahyu.
4.  Sedangkan Asy‘ariyah: Memberikan nilai 1 (satu) pada akal dan nilai 3 (tiga) pada wahyu.

Menyangkut tentang eksistensi masyarakat terpencil dan mayarakat modern yang tidak mempunyai kesempatan untuk mengetahui Islam secara baik, hubungannya dengan persoalan teologi, menurut Mu‘tazilah pedomannya adalah akal pemimpinnya. Dalam arti, mereka harus berpedoman pada aturan atau ketentuan yang telah berlaku dalam kelompoknya. Sedangkan menurut Asy‘ariyah persoalannya diserahkan kepada kemahakuasaan mutlak Tuhan. Namun secara teologis tidak dibebani kewajiban. Karena menurut Asy‘ariyah, selama seseorang belum sampai dakwah kepadanya, maka selama itu pula tidak ada taklif atasnya.

Menurut hemat penulis, mereka tetap harus dihisab menurut ketentuan yang berlaku dalam kelompoknya, kalau dia seorang beriman (menurut kepercayaannya) dan beramal saleh maka ia berhak masuk surga. Demikian sebaliknya, kalau dia tidak beriman dan berpilaku buruk, maka ia harus dimasukkan ke neraka sebagai ganjaran dari perbuatannya. Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah (2) : 62:

إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (62)
Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Q.S. 2:62) 
Dari ayat tersebut di atas dapat dipahami bahwa agama dan kepercayaan apa saja yang dimiliki seseorang, asalkan ia termasuk orang yang beriman dan beramal shaleh, maka ia berhak mendapat pahala dari Tuhan dan memperoleh ganjaran atas pahalanya itu.

Iman dari bahasa Arab yang artinya percaya. Sedangkan menurut istilah, pengertian iman adalah membenarkan dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan tindakan (perbuatan). Dengan demikian, pengertian iman kepada Allah adalah membenarkan dengan hati bahwa Allah itu benar-benar ada dengan segala sifat keagungan dan kesempurnaanNya, kemudian pengakuan itu diikrarkan dengan lisan, serta dibuktikan dengan amal perbuatan secara nyata.

Jadi, seseorang dapat dikatakan sebagai mukmin (orang yang beriman) sempurna apabila memenuhi ketiga unsur  keimanan di atas. Apabila seseorang mengakui dalam hatinya tentang keberadaan Allah, tetapi tidak diikrarkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan, maka orang tersebut tidak dapat dikatakan sebagai mukmin yang sempurna. Sebab, ketiga unsur keimanan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan.


Kufur secara bahasa artinya menutupi, oleh karena itu malam dalam bahasa arab dinamai kafir karena ia menutupi siang, dan petani juga disebut kafir karena ia menutupi biji dengan tanah. Adapun secara istilah, kufur ada dua macam: kufur akbar dan kufur ashgar. 
Kufur akbar adalah kufur yang mengeluarkan pelakunya dari millatul Islam, dan kufur ini ada enam macam:

a. Kufur takdzib yaitu mendustakan Islam dengan hati dan lisan. Ia meyakini bahwa Islam adalah dusta dan mengatakan dengan lisannya. (Al Mulk: 9).
قَالُوا بَلَى قَدْ جَاءَنَا نَذِيرٌ فَكَذَّبْنَا وَقُلْنَا مَا نَزَّلَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ إِنْ أَنْتُمْ إِلا فِي ضَلالٍ كَبِيرٍ (٩)
Mereka menjawab: "Benar ada", Sesungguhnya telah datang kepada Kami seorang pemberi peringatan, Maka Kami mendustakan(nya) dan Kami katakan: "Allah tidak menurunkan sesuatupun; kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar".

b. Kufur juchud yaitu meyakini kebenaran Islam dengan hatinya namun lisannya mendustakan bahkan memerangi dengan anggota badan. Contohnya adalah kufurnya fir’aun dan kuffar quraisy.

c. Kufur istikbar yaitu meyakini kebenaran Islam dengan hati dan lisannya, namun ia bersombong diri dan tidak mau menerima Islam dan melaksanakannya karena sombong dan menganggap remeh. Dan kufur ini disebut juga dengan kufur ‘ienad.
Contohnya kufur iblis la’natullah ‘alaih.

d. Kufur I’radl yaitu berpaling dari Islam, tidak membenarkan dan juga tidak  mendustakan. (Thaha: 124).
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى (١٢٤)
Dan Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam Keadaan buta".
e. Kufur nifaq yaitu mendustakan Islam dengan hatinya dan memperlihatkan keimanan dengan lisan dan badannya, seperti kufurnya Abdullah bin Ubay bin Salul gembong munafiq.

f. Kufur syakk, yaitu meragukan kebenaran Islam dan para rasul.
Sedangkan kufur ashgar adalah kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari millah Islam seperti berhukum dengan hukum selain Allah, dosa-dosa besar seperti zina, kufur kepada suami dan sebagainya. Kufur ini bisa menjadi kufur akbar bila ia meyakini kehalalannya dengan mengatakan bahwa Allah menghalalkannya.

Agenda persoalan yang pertama timbul dalam teologi Islam adalah masalah iman dan kufur. Persoalan itu dimunculkan pertama kali oleh golongan Khawarij yang mengecap kafir sejumlah tokoh sahabat Nabi SAW. yang dipandang telah melakukan dosa besar, yaitu Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abu sufyan, Abu Musa Al-Asy’ari, Amr bin Al-Ash, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Aisyah istri Rasulullah SAW.

Dalam masalah iman dan kufur ini mutakallimin terdapat perbedaan pendapat, diantaranya adalah:
1. Aliran Khawarij
Sebagai kelompok yang lahir dari peristiwa politik, pendirian teologisnya terutama yang berkaitan dengan masalah iman dan kufur lebih bertendensi politik daripada ilmiah-teoritis. Satu perbedaan aliran khawarij dengan aliran lainnya adalah mereka sangat mudah menghukumi “kafir” bagi orang-orang yang tidak mau mengikutinya. Misalnya, Nafi’I bin Azraq yang digelari Amirul Mu’minin oleh aliran Khawarij, memfatwakan bahwa barang siapa membantahnya maka dia adalah kafir yang halal darahnya, halal hartanya dan halal anak istrinya. Dalil yang mereka pakai untuk pendirian ini adalah Q.S. Nuh (71) ayat 26-27:

وَقَالَ نُوحٌ رَبِّ لا تَذَرْ عَلَى الأرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّارًا (٢٦)إِنَّكَ إِنْ تَذَرْهُمْ يُضِلُّوا عِبَادَكَ وَلا يَلِدُوا إِلا فَاجِرًا كَفَّارًا (٢٧)
Artinya :
“Nuh mendo’a: Wahai Tuhanku! Jangan Engkau biarkan orang-orang kafir itu bertempat tinggal dimuka bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba Engkau, dan mereka hanya akan melahirkan anak-anak yang jahat dan tidak tahu berterima kasih”.

Inilah pendapat yang sangat keterlaluan dari Khawarij yang memakai kalimat orang-orang kafir bagi orang Islam yang menjadi lawan politiknya. Kebenaran pernyataan ini tidak dapat disangkal karena seperti yang diketahui bersama, Khawarij muncul karena persoalan-persoalan teologis seputar masalah mu’min atau kafirkah Ali, Muawiyah dan pengikutnya? Jawaban atas pertanyaan ini kemudian menjadi pijakan atas dasar teologi mereka. Menurut mereka, Ali dan Muawiyah beserta para pengikutnya telah melakukan tahkim kepada manusia, berarti mereka telah berbuat dosa besar. Dan semua pelaku dosa besar, menurut semua sub sekte khawarij, kecuali Najdah adalah kafir dan akan disiksa di neraka selamanya.

Iman menurut aliran Khawarij bukan merupakan pengakuan dalam hati dan ucapan dengan lisan saja, akan tetapi amal ibadah menjadi rukun iman juga. Dan menurut aliran Khawarij, orang yang tidak melakukan shalat, puasa, zakat, dan lain sebagainya yang diwajibkan oleh Islam, maka termasuk kafir. Jadi apabila sekarang mukmin melakukan dosa besar maupun kecil, maka orang itu termasuk kafir dan wajib diperangi serta boleh di bunuh. Harta bendanya boleh dirampas menjadi harta ghanimah.

Golongan ini adalah golongan Khawarij murni yaitu Khawarij yang pertama kali muncul seperti yang tertera di atas. Kufur di sini adalah semua yang terlibat pada peristiwa tahkim. Dan semua orang yang telah berdosa besar juga dikatakan kufur pada aliran ini.       

Menurut Sekte Azariqah yang beriman hanyalah golongan dari mereka sendiri yang mau berhijrah dan tidak pernah melakukan dosa besar. Dengan kata lain, berarti orang Islam yang bukan dari golongan mereka atau golongan Azariqah sendiri yang menolak untuk berhijrah dianggap musyrik. Merekapun menghalalkan membunuh orang-orang yang dianggap musyrik termasuk anak dan istrinya.

Menurut Najdah  yang disebut orang beriman adalah golongan Najdah saja walaupun telah berdosa besar, menurut mereka orang yang berdosa besar yang menjadi kafir dan kekal di dalam neraka hanyalah  orang Islam yang tak sepaham dengan golongannya. Adapun pengikutnya jika melakukan dosa besar, betul akan mendapat siksaan, tetapi bukan dalam   neraka, dan kemudian akan masuk surga.

 Sebagai aliran yang menitik beratkan iman dengan amal perbuatan, Iman menurut Ajaridah adalah semua golongan Ajaridah yang tidak berdosa besar, dan anak kecil dari orang yang dianggap kafir masih di kategorikan beriman, selama ia belum mengikuti orang tuanya. Anak dari orang yang dianggap kafir tidak lantas menjadi kafir dan boleh dibunuh. 

Iman dalam pandangan sekte Sufriyah tidak selalu bisa hilang hanya karena suatu dosa besar, Sufriyah membagi dosa besar menjadi dua golongan; dosa besar yang sangsinya ada di dunia, seperti membunuh dan berzina, dan dosa besar yang tidak ada sangsinya di dunia, seperti meninggalkan shalat dan puasa. Orang yang berbuat dosa golongan pertama tidak dipandang kafir yang menjadi kafir hanyalah orang yang melaksanakan dosa golongan kedua.
Sekte Sufriyah juga membagi kufur  menjadi dua: kufr bi inkar al-ni’mah atau di sebut juga kafir ni’mat yaitu mengingkari rahmat Tuhan dan kufr bi inkar al-rububiyah  (kafir millah) yaitu mengingkari Tuhan. Dengan demikian term kafir tidak selamanya harus keluar dari Islam.

Sekte Ibadiyah berpendapat bahwa orang Islam selain dari golongan mereka adalah kafir tetapi boleh mengadakan hubungan perkawinan dan warisan, dan syahadatnya boleh diterima. Dan bahwa setiap pelaku dosa besar tetap sebagai muwahid (yang mengesakan Tuhan), tetapi bukan mukmin. Maksudnya di sini ia hanya dipandang sebagai kafir mengingkari ni’mat (kafir ni’mat) dan bukan kafir millah/agama,  dengan kata lain mengerjakan dosa besar tidak membuat orang menjadi keluar dari Islam, namun siksaan yang bakal mereka terima di akhirat nanti adalah kekal dalam neraka bersama orang-orang kafir lainnya.

Aliran Murji’ah membentuk suatu faham dalam ushuluddin yang berbeda dengan aliran Khawarij, syi’ah dan Ahlussunnah. Aliran ini menangguhkan penilaian terhadap orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim di hadapan Tuhan, karena Tuhanlah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Aliran Murji’ah terpecah menjadi beberapa golongan kecil. Namun, pada umumnya golongan Murji’ah terbagi kepada dua golongan besar yaitu “golongan ekstrim” dan “golongan moderat”.

a. Murji’ah ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya menggambarkan apa yang ada di hatinya. Oleh karena itu segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna di hadapan Tuhan.

Dosa bagi aliran Murji’ah tidak menjadi sebuah masalah, kalau ada iman dalam hati. Mereka berpendapat bahwa iman adalah tashdiq dalam hati saja, atau ma’rifah (mengetahui) Allah dengan hati, bukan secara demonstrative, baik dalam ucapan maupun dalam tindakan. Oleh karena itu jika seseorang telah beriman tetapi dia bertingkah laku seperti Yahudi atau Nasrani atau bahkan menyembah berhala menurut Murji’ah ia masih mukmin. Hal ini disebabkan karena keyakinan mereka bahwa iqrar dan amal bukanlah bagian dari iman. Kredo Murji’ah ekstrim yang terkenal adalah “Perbuatan tidak dapat menggugurkan keimanan, sebagaimana ketaatanpun tidak dapat membawa kekufuran”. Dapat diambil kesimpulan bahwa kelompok ini memandang pelaku dosa besar tidak akan disiksa di neraka.

b. Murji’ah Moderat adalah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal di dalamnya, tergantung dari dosa yang di lakukannya. Meskipun demikian, masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya sehingga bebas dari siksaan neraka. Ciri khas mereka lainnya adalah dimasukkannya iqrar sebagai bagian penting dari iman, disamping tashdiq (ma’rifah).   

Menurut aliran Mu’tazilah, iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Jadi, orang yang membenarkan (tashdiq) tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu tidak dikatakan mukmin. Tegasnya iman adalah amal. Iman tidak berarti pasif, menerima apa yang dikatakan orang lain, iman mesti aktif karena akal mampu mengetahui kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan mati sebelum taubat, tidak lagi mukmin dan tidak pula kafir, tetapi dihukumi sebagai orang fasiq.

Di akhirat ia dimasukkan ke neraka untuk selama-lamanya, tetapi nerakanya agak dingin tidak seperti nerakanya orang kafir. Dan tidak pula berhak masuk surga. Jelasnya menurut kaum Mu’tazilah, orang mu’min yang berbuat dosa besar dan mati sebelum taubat, maka menempati tempat diantara dua tempat, yakni antara neraka dan surga (manzilatan baina al-manzilatain).

Menurut aliran Asy’ariyah, iman secara  esensial adalah  tashdiq bi al-janan (membenarkan dengan kalbu). Sedangkan qaul dengan lisan dan melakukan berbagai kewajiban utama (amal bi al-arkan) hanya merupakan furu’ (cabang-cabang) iman. Oleh sebab itu, siapa pun yang membenarkan ke-Esaan Allah dengan kalbunya dan juga membenarkan utusan-utusan-Nya beserta apa yang mereka bawa dari-Nya telah beriman. Jadi tashdiq menurut Asy’ariyah merupakan pengakuan dalam hati yang  mengandung ma’rifah terhadap Allah.
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb (meyakini dengan hati), bukan semata-mata iqrar bi al-lisan (mengucapkan dengan lisan). Ia berargumentasi dengan ayat al-Qur’an, surat al-Hujarat (49) ayat 14:
قَالَتِ الأعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الإيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (١٤)
Artinya:  “Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Ayat tersebut difahami Al Maturidi sebagai usaha penegasan bahwa keimanan itu tidak cukup hanya dengan perkataan saja, tanpa di yakini oleh hati. Apa yang diucapkan oleh lisan dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal apabila hati tidak mengakuinya. 

Aliran Maturidiyah ada dua kelompok, yaitu Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara;
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan. Apa yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah. Al-Maturidi tidak berhenti sampai di situ. Menurutnya, tashdiq, seperti yang dipahami di atas, harus diperoleh dari ma’rifah. Tashdiq hasil dari ma’rifah ini didapatkan melalui penalaran akal, bukan sekedar berdasarkan wahyu. Jadi, menurut Al-Maturidi Samarkand, iman adalah tashdiq yang berdasarkan ma’rifah. Meskipun demikian, ma’rifah menurutnya sama sekali bukan esensi iman, melainkan faktor penyebab kehadiran iman.

Iman menurut Maturidiyah Bukhara, seperti yang dijelaskan oleh Al-Bazdawi, adalah tashdiq bi al-qalb dan tashdiq bi al-lisan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tashdiq bi al-qalb adalah meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya beserta risalah yang dibawanya. Adapun yang dimaksud demgan tashdiq bi al-lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal.


1. Menurut Aliran Khawarij
Ciri yang menonjol dari aliran Khawarij adalah sifat ekstrimitas dalam memutuskan persoalan-persoalan kalam. Hal ini selain di dukung oleh watak kerasnya akibat pengaruh geografis kondisi gurun pasir, juga karena di bangun atas dasar pemahaman tekstual atas nash-nash Al Qur’an dan Hadits. Tak heran kalau aliran ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang status pelaku dosa besar. Mereka memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim yaitu Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, Abu Musa Al Asy’ari adalah kafir, berdasarkan firman Allah dalam surat Al Maidah (05) ayat 44 :

إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالأحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ فَلا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلا وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ (٤٤)
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-Kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.

Secara umum, subsekte aliran khawarij berpendapat bahwa pelaku dosa besar di anggap kafir, masing subsekte memilki pendapat yang berbeda-beda tentang pelaku dosa besar yang di beri predikat kafir. Subsekte Khawarij yang ekstrim menggunakan istilah yang lebih “mengerikan” di bandingkan dengan kafir, yaitu musyrik. Mereka memandang musyrik bagi siapa saja yang tidak mau bergabung dengan mereka. Bahkan orang Islam yang sefaham dengan mereka tetapi tidak mau hijrah ke dalam lingkungan mereka. Subsekte Najdah tidak jauh berbeda Azariqoh, mereka menganggap musyrik kepada siapapun yang secara terus menerus mengerjakan dosa kecil. Adapun dengan dosa besar, apabila tidak dilakukan secara terus menerus pelakunya tidak dipandang musyrik, hanya di anggap kafir saja.

Semua pelaku dosa besar, menurut semua subsekte khawarij adalah kafir dan akan disiksa di neraka selamanya. 
Pelaku dosa besar dalam pandangan mereka telah beralih status keimanannya menjadi kafir secara agama, dan berarti ia telah keluar dari Islam, mereka kekal dineraka bersama orang-orang kafir lainnya.

Sekte ini Menganggap kafir bagi seseorang yang melakukan dosa kecil secara berkesinambungan, seperti halnya dengan pelaku dosa besar. Mereka berpendapat jika pengikutnya melakukan dosa besar mereka akan tetap mendapatkan siksa dalam neraka namun pada akhirnya mereka akan masuk surga.

  1. Dosa besar yang terdapat sangsi didunia (seperti membunuh, berzina, dll) tidak dipandang kafir.
  2. Dosa besar yang tidak ada sangsinya didunia (seperti meninggalkan sholat dan puasa) dipandang kafir.

Secara umum pandangan aliran Murji’ah dalam mensikapi pelaku dosa besar adalah menunda atau menangguhkan persoalan dihadapan Allah nanti di hari pembalasan. 

Golongan murji’ah ekstrim berpandangan bahwa iman adalah didalam kalbu, bukan secara demonstratif, baik dalam ucapan ataupun dalam tindakan perbuatan, oleh karena itu menurut golongan ini kalau seseorang telah beriman dalam hatinya, ia dipandang tetap sebagai seorang mu’min. Menurut kelompok ini perbuatan maksiat yang dilakukan  seseorang tidak dapat menggugurkan keimanannya, sehingga mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak akan disiksa di neraka selama mereka tetap dalam keadaan beriman kepada Allah.

Mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, mereka tidak kekal di dalamnya, tergantung kepada ukuran dosa yang dilakukannya. Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya sehingga ia bebas dari siksa neraka. 

Kemunculan aliran Mu’tazilah dalam pemikiran teologi Islam di awali oleh masalah yang hampir sama dengan aliran Khawarij dan Murji’ah yaitu mengenai status pelaku dosa besar. Apakah masih beriman atau sudah kafir. Perbedaannya, bila Khawarij mengkafirkan pelaku dosa besar, Murji’ah memelihara keimanan pelaku dosa besar maka Mu’tazilah tidak menentukan status dan predikat pelaku dosa besar, apakah dia tetap mukmin atau kafir. Mereka memiliki istilah manzilah bainal manzilatain. Menurut Mu’tazilah, setiap pelaku dosa besar berada di posisi tengah-tengah, antara posisi mukmin dan posisi kafir. Mereka menyebut pelaku dosa besar dengan sebutan fasik. Ia akan kekal di dalam neraka, apabila meninggal dalam keadaan belum bertaubat, walaupun dengan siksaan yang berbeda dengan orang kafir.

Yang di maksud dengan dosa besar menurut pandangan Mu’tazilah adalah segala perbuatan yang ancamannya disebutkan secara tegas dalam nash, sedangkan dosa kecil sebaliknya, yaitu segala perbuatan yang ancamannya tidak disebutkan secara tegas dalam nash. Tampaknya Mu’tazilah menjadikan ancaman sebagai kriteria dasar bagi perbuatan dosa besar maupun perbuatan dosa kecil.

Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir. Walaupun melakukan dosa besar, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki. Akan tetapi jika dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir. 

Mukmin pelaku dosa besar, di akhirat nanti akan mendapat beberapa kemungkinan:
  1. Boleh jadi Tuhan mengampuni dosanya dengan sifat pemurah Tuhan, karena Tuhan Maha Pemurah, dan ia langsung dimasukkan kedalam surga tanpa hisab.
  2. Boleh jadi dia mendapatkan syafaat dari Nabi Muhammad, yakni dibantu oleh Nabi Muhammad, sehingga dia dibebaskan Tuhan dari segala siksaan, dan langsung dimasukkan kedalam surga.
  3. Kalau kemungkinan dua diatas tidak terjadi pada pelaku dosa besar maka dia akan disiksa di dalam neraka sesuai kadar dosanya, dan kemudian dia akan dibebaskan dari siksaan dan dimasukkan surga dan kekal di dalamnya karena saat di dalam dunia dia adalah seorang yang beriman.

Aliran Maturidiyah baik Samarkand maupun Bukhara sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya, adapun balasan yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia.

Maturidiyah berpendapat, bahwa orang yang berdosa besar itu tidak dapat dikatakan kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertaubat. hal itu di karenakan Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya sedangkan balasan bagi orang yang berbuat dosa syirik adalah  kekal dalam neraka.

Penganut Syi’ah Zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal di dalam neraka, jika ia belum bertaubat dengan taubat yang sesungguhnya. 

Persoalan lain yang muncul dalam perbincangan kalam adalah masalah perbuatan Tuhan. Dimulai dengan perdebatan ulama mengenai iman. Ketika mereka memperbincangkan siapakah yang di anggap iman dan siapakah yang di anggap kafir di antara pelaku tahkim. Dari permasalahan ini muncul pertanyaan siapakah yang mengeluarkan perbuatan manusia? Allah atau manusia sendiri?
Semua aliran kalam berpendapat bahwa Tuhan memiliki perbuatan. Perbuatan di sini dipandang sebagai konsekwensi logis dari dzat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya.

Sebagai aliran kalam yang bercorak rasional, Mu’tazilah berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal=hal yang dianggap baik. Tetapi tidak berarti bahwa Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena Ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk tersebut. Di dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa Tuhan tidak berbuat dzalim. Ayat-ayat al-Qur’an yang di jadikan pedoman oleh kaum Mu’tazilah antara lain :
Q.S. Al Anbiya [21] ayat 23:
لا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ (٢٣)
Artinya: Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.
Q.S. Ar Rum [30] ayat 8:
أَوَلَمْ يَتَفَكَّرُوا فِي أَنْفُسِهِمْ مَا خَلَقَ اللَّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلا بِالْحَقِّ وَأَجَلٍ مُسَمًّى وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ بِلِقَاءِ رَبِّهِمْ لَكَافِرُونَ (٨)
Artinya: Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. dan Sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan Pertemuan dengan Tuhannya.
Seorang Mu’tazilah Qadi Abd Al Jabr, mengatakan bahwa ayat pertama memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat yang baik dan Maha suci dari perbuatan buruk. Maka Tuhan tidak perlu di Tanya. Sedangkan ayat yang kedua, menurut al-Jabr mengandung petunjuk bahwa Tuhan tidak pernah dan tidak akan pernah melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Seandainya Tuhan melakukan perbuatan buruk, maka pernyataan bahwa Dia menciptakan langit dan bumi serta segala isinya dengan hak, adalah tidak benar atau berita bohong.

Faham kewajiban Tuhan berbuat baik, bahkan yang terbaik mengharuskan Mu’tazilah melahirkan faham kewajiban Allah berikut ini:
  1. Kewajiban tidak memberikan beban diluar kemampuan manusia. Memberi beban diluar kemampuan manusia adalah bertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik. Tuhan akan bersikap tidak adil apabila Ia memberi beban yang terlalu berat kepada manusia.
  2. Kewajiban mengirimkan Rasul. Argumentasi mereka adalah kondisi akal tidak dapat mengetahui setiap apa yang harus di ketahui oleh manusia tentang Tuhan dan alam ghaib. Oleh karena itu Tuhan berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia dengan cara mengirim Rasul. Tanpa Rasul manusia tidak mampu hidup baik di dunia maupun di akhirat.
  3. Kewajiban menepati janji (al-wa’d) dan ancaman (al-wa’id). Janji dan ancaman merupakan satu dari lima dasar kepercayaan Mu’tazilah. Tuhan tidak akan bersifat adil apabila Tuhan tidak menepati janji untuk memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan  menjalankan ancaman bagi orang yang berbuat jahat. Oleh Karena itu, menepati janji dan menjalankan ancaman adalah kewajiban bagi Tuhan.

Aliran Asy’ariyah berpendapat:
  1. Perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib (ja’iz) dan tidak satupun dariNya yang mempunyai sifat wajib. 
  2. Aliran Asy’ariyah menerima faham pemberian beban diluar kemampuan manusia karena perbuatan manusia pada hakikatnya adalah perbuatan Tuhan dan diwujudkan dengan daya Tuhan bukan dengan daya manusia. 
  3. Aliran ini juga berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan menjalankan ancaman yang ada dalam al-Qur’an dan Hadis.

Kedua aliran Maturidiyah ada perbedaan: 
  1. Maturidiyah Samarkand, memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, mereka berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja, dengan demikian Tuhan berkewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian halnya dengan pengiriman rasul Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.
  2. Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti memberi upah orang yang telah berbuat kebaikan. Tentang kekuasaan Tuhan dan kehendak mutlak Tuhan, tidak  bersifat wajib (ja’iz).

Posting Komentar Blogger