INGIN IKLAN ANDA DISINI ?
Dapatkan Tawaran Menarik
Silahkan Kontak Admin
Terima Kasih


Penjelasan Ilmu Hadits dan Cabangnya - Pengertian, Macam dan Faedah Ilmu Hadits Secara umum pengertian ilmu hadits ialah ‘Ilmu pengetahuan tentang sabda, perbuatan, pengakuan, gerak gerik beserta sanad-sanad (dasar penyandarannya) dan ilmu pengetahuan untuk membedakan keshahihannya, kehasanan dan kedhaifannya dari pada yang lainnya baik matan maupun sanad. 

Menurut kebanyakan muhadditsin (ahli hadits, ilmu hadits secara garis besar terbagi kepada dua macam yaitu Ilmu Hadits riwayah dan Ilmu Hadits dirayah


عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ نَقَلُ مَا أُضِيْفَ لِلنَّبِيِّ صلم قَوْلاً أَوْ فِعْلاً أَوْ تَقْرِيْرًا أَوْ غَيْرَ ذَالِكَ
Suatu ilmu pengetahuan untuk mengetahui cara-cara penukilan, pemeliharaan dan pendewanan apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw baik berupa perkataan, perbuatan, Ketetapan dan lain sebagainya.” 
Ilmu ini mengupayakan pengutipan bebas dan cermat bagi segala sesuatu yang bersandar kepada nabi Muhammad saw. Yang dikutip dapat berupa ucapan, perbuatan, pengakuan (ikrar) atau sifat Nabi, juga segala sesuatu yang bersandar pada sahabat serta tabi’in.

Objek kajian ilmu hadits riwayah, meliputi bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang lain dan memindahkan atau mendewankan dalam suatu dewan hadits. Dalam menyampaikan dan mendewankan hadits, hanya dinukilkan dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan dan sanadnya. Ilmu ini tidak berkompeten membicarakan apakah matannya ada yang janggal atau teri’illat, dan apakah sanadnya itu bertali-tali satu sama lain atau terputus. Lebih jauh dari itu tidak diperkatakan hal ihwal sifat-sifat rawinya apakah mereka adil atau fasiq, dhabit, atau lemah hafalannya, hingga dapat memberikan pengaruh terhadap nilai suatu Hadits. Faedah mempelajari ilmu ini adalah :
  1. Untuk Pemeliharaan terhadap hadits Nabi Muhammad saw., agar tidak lenyap dan sia-sia.
  2. Agar terhindar dari kekeliruan dan kesalahan dalam proses periwayatannya atau dalam penulisan dan pembukuannya.
Tokoh yang pertama dan terkenal dalam menulis ilmu ini adalah Muhammad bin Shihab Azzuhri (670 - 741 M), beliau terkenal dengan nama Ibnu Syihab atau Muhammad Azzuhri. 


عِلْمٌ يَتَوَصَّلُ بِهِ إِلىَ مَعْرِفَةِ صِحَاحِ الأَحَادِيْثِ وَحِسَانِهَاوَضِعَافِهَامَتْنًا وَإِسْنَادًاوَتَمْيِيْزِهَا عَنْ خِلاَفِهَا
“Suatu ilmu pengetahuan yang menjadi sarana untuk mengenal keshahihan, kehasanan, dan kedhaifan hadits, matan, maupun sanad dan untuk membedakan dengan yang lainnya”. 
Setiap pengenalan dan pembedaan nilai hadits tersebut, harus dibina oleh ilmu pengetahuan tentang keadaan rawi, tentang tentang keadilannya, kedhabitannya (kekuatan hafalannya), dan lain sebagainya.

Objek Kajiannya adalah:

1. Sanad meliputi: 
• Persambungan sanad. Apakah bersambung atau tidak.
• Keterpercayaan sanad (Tsiqah atah tidak Tsiqah) apakah sanadnya adil atau fasiq apakah dhabit atau tidak dhabit.

2. Matan meliputi: 
• Selamat dari kejanggalan redaksi
• Selamat dari kejanggalan makna
• Selamat dari kata yang tidak bisa dipahami.

Faedah mempelajari ilmu ini adalah untuk mengetahui dan menetapkan apakah suatu hadits dapat diterima atau ditolak (maqbul atau mardud) Di antara tokoh-tokoh yang pertama dan terkenal menulis ilmu ini adalah Muhammad Hasan bin Abdurrrahman bin al-Khalad yang dikenal dengan Arrumahurmazi dengan kitabnya Muhaditsul Fashil baina Rawi wa Wa’ij, Abu Nu’aim, AlKhatib al-Baghdadi dan lain-lain. 


Cabang-cabang ilmu hadsit dikelompokan menjadi beberapa cabang sebagai berikut :

Ilmu Rijal Al-Hadist ialah “Ilmu untuk mengetahui para perawi hadist dalam kapasitas mereka sebagai perawi hadist.” Ilmu ini sangat penting kedudukannya dalam bidang ilmu hadist, karena objek kajiannya menyangkut sanad yang merupakan salah satu dari dua hal penting dalam kajian ilmu hadits yaitu yaitu matan dan sanad. Ilmu Rijal Al Hadist lahir bersama-sama dengan periwayatan hadits dalam Islam.

Di antara kitab yang paling tua yang menguraikan tentang sejarah perawi thabaqat demi thabaqat adalah karya Muhammad ibn sa’ad (w.230) yaitu Thabaqat al-Qubra dan karya Khalifah ibn Ashfari (w.240 H) yaitu Thabaqat al-Ruwah, dan lain-lain. 

Ilmu al-jarh, yang secara bahasa berarti ‘luka, cela atau cacat, adalah ilmu yang membahas kecacatan rawi, seperti keadilan dan kedhabitannya. Sehingga dapat ditentukan siapa diantara perawi itu yang dapat diterima atau ditolak hadsit yang diriwayatkannya. Para ulama hadits mendefenisikan al jarh dengan : “Kecacatan para hadits disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan atau kedhabitannya.” Sedangkan al-Ta’dil secara bahasa berarti al-tasywiyah (menyamakan), menurut istilah “Pembersihan atau penyucian perawi yang melahirkan penetapan bahwa perawinya itu adalah adil dan dhabith”. Ilmu jarah wa ta’dil ini dikelompokan oleh sebagian ulama kedalam ilmu hadist yang pokok pembahasannya berpangkal kepada sanad. 

Ilmu jarah wa ta’dil ini dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali. perjarahan dan pent’dilan itu dilakukan oleh para ahli hadits dengan mengungkapkan beberapa lapaz. Contoh lafaz bahwa suatu rawi cacat atau jarh antara lain: فُلاَنٌ أَكْذَبُ النَّاسِ “fulan yang paling berdusta” atau فُلاَنٌ مُتَّهَمٌ بِالْكِذْبِ “sifulan tertuduh berdusta” atau فُلاَنٌ لاَحُجَّةٌ “fulan tidak diambil sebagai hujjah) adapun contoh lafaz yang digunakan untuk menta’dil rawi misalnya :

فُلاَنٌ أَوْثَقَ النَّاسِ “sifulan orang yang paling dipercaya”atau فُلاَنٌ ضَابِطٌ “ Fulan kuat hafalannya” atau فُلاَنٌ حُجَّةٌ “fulan dapat dijadikan hujjah”

Kecacatan rawi itu bisa ditelusuri melalui perbuatan-perbuatan yang dilakukannya, biasanya di kategorikan ke dalam lingkungan perbuatan: bid’ah, yakni melakukan tindakan tercela atau di luar ketentuan syariah; mukhalafah, yakni berbeda dengan periwayatan dari rawi yang lebi tsqah; ghalat, yakni banyak melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan hadits, jahalat al-hal, yakni tidak diketahui didentitasnya secara jelas dan lengkap; dan da’wat al-inqitha’, yakni diduga penyandaran (sanadnya) tidak bersambung.

Adapun informasi tentang jarh atau ta’dil dapat diketahui dengan dua jalan, yaitu:
  1. Popularitas para perawi di kalangan para ulama hadits, bahwa mereka dikenal sebagai orang adil orang yang banyak menyandang a’ib.
  2. Berdasarkan pujian dan pentjrihan dari rawi lain yang adil. Apabila seorang rawi yang belum dikenal keadilannya dita’dil oleh seorang rawi yang adil maka ia dapat digelari adil dan periwayatannya dapat diterima. 
Orang yang melakukan ta’dil dan tajrih harus memenuhi syarat, yaitu : berilmu pengetahuan, taqwa, wara’, jujur, menjauhi sifat fanatik terhadap golongan dan mengetahui ruang lingkup ilmu jarh dan ta’dil ini. Diantara penyusun kitab ini adalah :

  1. Yahya bin Ma’in dengan kitabnya; Ma’rifatul Rijal kita ini termasuk kitab yang pertama sampai kepada kita.
  2. Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari (194 – 252) dengan kitab Adlhu’afa’ kitab tersebut dicetak di India tahun 320 H.
  3.  Abu Hatim bin Hibban al-Busty (w.304 H)
  4.  Al-hafiz ibn Hajar al-Atsqalaniy, (773 – 852 H) dengan kitabnya Lisanul Mizan 
Ilmu tarikh al-Ruwat ialah “ilmu untuk mengetahui para perawi hadist yang berkaitan dengan usaha periwayatan mereka terhadap hadist.” Ilmu ini mengkhususkan pembahasannya secara mendalam pada aspek kesejarahan dari orang-orang yang terlibat dalam periwayatan.itu.

Dengan Ilmu ini akan diketahui keadaan dan identitas para perawi, seperti kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, masa/waktu mereka mendengar hadis dari gurunya, siapa orang yang meriwayatkan hadis darinya, tempat tinggal mereka, tempat mereka mengadakan lawatan, dan lain-lain. Ilmu ini merupakan bagian dari ilmu rijalul hadits tapi pembahasan yang mendalam adalah pada sudut kesejarahan dari orang-orang yang terlibat dalam periwayatan. 

Ilmu ini dapat dijadikan senjata yang ampuh untuk mengetahui keadaan rawi yang sebenarnya, terutama untuk membongkar kebohongan para perawi. Sebagai contoh: ‘Ufair bin Ma’dan al-Killa’iy bercerita: “Umair ibn Musa pernah datang kepadaku, lalu kutemui temui dia di Mesjid dan seraya ia berkata: Telah bercerita kepada kami guru kamu yang shalih. Ketika ia telah banyak bercerita, lalu kupotong ceritanya, “Siapa yang kamu maksud guru kami yang saleh itu? Sebutlah namanya agar kami mengetahuinya!” jawabnya “yaitu Khalid ibn Ma’dan” “Tahun berapa kamu bertemu dengan dia?” tanyaku. “Aku bertemu dengan dia tahun 108 H.” jawabnya “dimana kamu bertemu? Tanyaku lagi. “Aku bertemu dengan dia pada waktu perang Armenia” jawabnya. Aku membentak: “Takutlah kepada Allah hai saudara jangan kau berdusta. Bukankah Khalid bin Ma’dan itu wafat tahun 108 H? Sedangkan kamu mengatakan bahwa kamu bertemu dengan dia empat tahun sesudah dia meninggal. Dan dia juga tidak pernah mengikuti perang Armenia sama sekali. Dia hanya ikut perang Romawi saja. 

Kitab yang paling tua yang sampai kepada kita tentang tarikhulruwah ini adalah al-Tarikhul Kabir karya Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhariy (194 - 256) di dalam kitab tersebut ditulis 40.000 biografi perawi hadits laki-laki maupun perempuan. Dan Pengarang kitab tarihkul ruwah yang terkenal sesudah Imam Bukhari adalah al-hafiz ibnu Hajar al-Asqalaniy ( 773 – 853 H ) dengan kitabnya Tahzibut Tahzib, al-hafiz Abu Muhammad Abdul Ghaniy bin Abdul Wahid al-Maqdisi ( 541 – 600 H ) dengan kitabnya Kamal fi Asmair rijal. 

Ilmu Ilalil Hadits ialah ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi yang mencacatkan keshahihan hadist, seperti mengatakan muttasil terhadap hadist munqati menyebut hadist marfu kepada hadsit mauquf. Memasukkan hadits ke dalam hadits lain dan hal-hal yang seperti itu. Ilmu ini dapat menentukan apakah suatu hadits termasuk hadits dha’if, bahkan mampu berperan amat penting yang dapat melemahkan suatu hadits, sekalipun lahiriyahnya hadits tersebut seperti luput dari segala illat. Di antara penulis ialah ibnu al-Madani, (234 H), Imam Muslim (261 H) Ibnu abu Hatim (237), Muhammad bin Abdullah al-Hakim (w.405) dan lain-lain. 

Ilmu yang membahas hadist-hadist yang berlawanan yang tidak dapat dipertemukan dengan cara menentukan sebagiannya sebagai nasikh dan sebagian lainnya sebagai mansukh, bahwa yang datang terdahulu disebut Mansukh dan yang datang dinamakan nasikh. 

Nasikh adalah yang menghapus atau yang membatalkan, yang kadang-kadang dilakukan sendiri oleh Rasulullah Saw., seperti sabdanya: “Aku pernah melarangmu berziarah kubur, lalu berziarahlah!” dan hadits lain: “Aku pernah melarangmu mempertahankan daging korban lebih dari tiga hari, lalu makanlah dari yang ada!”. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Buraidah. Kadang-kadang pembatalan itu dengan merujuk kepada sejarah, seperti dijelaskan oleh sebuah hadits “sama batalnya orang yang membekam dan yang dibekam.” Ini berkenaan dengan kasus Ja’far bin Abu Thalib sebelum penaklukan kota Mekah. Sedangkan ibnu Abbas berkata: “Nabi melakukan pembekaman ketika sedang berpuasa dan ihram.” Keduanya jelas bertentangan. Tetapi Ibnu Abbas dan ayahnya baru masuk Islam pada penaklukan kota Mekah. 

Yang menulis mengenai nasikh dan mansukh hadits ialah : Ahmad bin Ishak Ad-dinari (318 H.), Muhammad bin bahr al-Asybahaniy (322), Wahbatullah bin Salamah (410 H) Muhammad bin Musa al-Haziniy (584 H), dan Ibnu al-Jauzi (597) 

Asbabul wurud Al-Hadits ialah Ilmu yang menerangkan sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya nabi menuturkan itu. Atau ilmu yang menerangkan sebab-sebab lahirnya hadits. Ilmu ini sangat penting dalam menafsirkan suatu hadits atau al-Quran. Seseorang tidak akan dapat mengetahui penafsiran suatu Hadits secara tepat, tanpa mengetahui sebab-sebab dan keterangan-keterangan tentang latar belakang Nabi bersabda, berbuat atau mengakui perbuatan sahabat yang dilakukan di hadapan beliau. Ini merupakan suatu sarana yang kuat untuk memahami dan menafsirkan hadits. 

Ulama yang mula-mula meyusun kitab ini adalah Abu Hafash Umar ibnu Muhammad Ibnu Rajak Al Ukbury, (380 – 458) Abu Hamid bin Khaznah al-jubary, IbnuHamzah al-Husaini (1054 – 1120) 

Ilmu untuk mengetahui dan menerangkan makna yang terdapat pada lafad-lafad hadist yang jauh dan sulit dipahami, karena lafaz-lafaz tersebut jarang digunakan.

Sesudah berlalu masa sahabat, yakni abad pertama dan para tabi’in pada tahun 150 H. mulailah bahasa arab yang tinggi tidak diketahui lagi umum. Satu-satu orang saja lagi yang mengetahuinya. Oleh karena itu, berusahalah para ahli mengumpul kata-kata yang dipandang tidak dapat dipahamkan oleh umum dan kata-kata yang kurang terpakai dalam pergaulan sehari-hari dalam sesuatu kitab dan mengsarahkannya. 

Yang menjadi objek kajian dari ilmu ini adalah kata-kata yang munsykil (dikeragui) dan susunan kalimatnya sukar dipahami. Tujuan yang hendak dicapai dalam ilmu ini adalah untuk melarang seseorang dalam menafsirkan hadits dengan menduga-duga dan mentaqlidi pendapat seseorang yang bukan ahlinya. Di antara pengarang-pengarang ilmu adalah: Abu ubaid al-Qasim bin Salam (157 - -224) dengan kitab Gharibil al-Hadits, Jarullah Mahmud ibnu Umar al-Zumakhsary (468 – 538 ) 

Ilmu tawarikhul mutun yaitu ilmu yang membahas tentang kapan hadits itu diucapkan atau dilakukan Rasulullah saw. Ilmu ini sangat berguna untuk mengetahui nasikh dan mansukh hadits. Penyusun ilmu ini di antaranya adalah Imam Sirajuddin Abu Hafsh ‘Amru bin Salar al-Bulkiniy 

Ilmu yang membahas hadist-hadist yang menurut lainnya bertentangan atau berlawanan, kemudian ia menghilangkan pertentangan tersebut atau mengkompromikan antara keduanya, dengan cara membatasi kemutlakan atau keumumannya atau dengan cara lainnya. Contoh hadits seperti ini adalah sabda Rasulullah “Tiada penyakit Menular” dan sabdanya dalam hadits lain “Larilah dari penyakit kusta sebagaimana kamu lari dari Singa” Keduanya adalah hadits shahih. Terhadap keduanya lalu diterapkan jalan tengah: bahwasanya penyakit itu tidak menular dengan sendirinya . Pengarang Kitaba tentang ilmu di antaranya adalah Imam al-syafi’I, demgam kitabnya Mukhtaliful Hadits., Abdullah bin Muslim bin Qutaibah al-Dainuriy (213 – 276) dengan bukunya Ta’wiluu Mukhtaliful Hadits. Imam Abu ja’far Ahmad bin muhammad at-Tahwawi (239 – 321) 

Ilmu yang membahaskan tentang cara mengumpulkan antara hadist-hadist yang berlawanan lahirnya. Dikumpulkan itu adakalanya dengan mentahkhisiskan yang Am atau mentaqyidkan yang mutlak atau dengan memandang banyak kali terjadi.

Ilmu ini dinamai juga dengan ilmu Mukhtaliful Hadist diantara para ulama besar yang telah berusaha menuyusun ilmu ini ialah Al Imam Syafi’i, Ibnu Qutaibah, Ibnul Jauzy kitabnya bernama At Tahqiq sudah disarahkan oleh Ustad Ahmad Muhammad Syakir.

Posting Komentar Blogger