INGIN IKLAN ANDA DISINI ? Dapatkan Tawaran Menarik Silahkan Kontak Admin Terima Kasih |
Mengenal dan menjelaskan pemikiran kalam Muhammad Iqbal – M. Iqbal berasal dari keluarga
miskin, dengan mendapatkan beasiswa dia mendapat pendidikan bagus. Keluarga Iqbal berasal dari keluarga Brahmana Kashmir
yang telah memluk agama Islam sejak tiga abad sebelum kelahiran Iqbal, dan
menjadi penganut agama Islam yang taat.
Biografi. Pada usia sekolah, Iqbal
belajar Al Qur’an di surau. Disinilah Iqbal banyak hapal ayat-ayat Al Qur’an
yang selanjutnya jadi rujukan pengembangan gagasannya dalam pembaharuan
keislamannya.
Selanjutnya di meneruskan ke Scottish
Mission School, Sialkot. Disini dia bertemu guru ternama sekaligus teman
karib ayahnya, Sayid Mir Hasan. Pengaruh Mir Hasan ini sangat kuat pada dirinya
ini dibuktikannya dengan menolak pemberian gelar Sir oleh pemerintah Inggris
pada tahun 1922, sebelum gurunya mendapat gelar kehormatan pula, yaitu Syams
al- ‘Ulama.
Dalam sebuah sajaknya Iqbal
mengakuinya :
Cahaya dari keluarga Ali yang penuh
berkah
Pintu gerbangnya dibersihkan
senatiasa
Bagiku bagaikan Ka’bah
Nafasnya menumbuhkan tunas
keinginanku, penuh gairah hingga menjadi kuntum bunga yang merekah indah
Pada tahun 1895 Iqbal menyelesaikan
pelajarannya di Scottish dan pergi ke Lahore. Disini ia melanjutkan studi Government
College gurunya adalah - Sir Thomas Arnold. Dia
mendapatkan dua kali medali emas karena baiknya bahasa Inggris dan Arab karena
kejeniusannya dia menjadi mahasiswa kesayangan Sir Thomas Arnold, karena melihat kejeniusan Iqbal Arnold mendorongnya agar
melanjutkan pendidikannya ke Inggris. Setelah selesai di Government College
Iqbal belajar ke Eropa pada tahun 1905. Dari sini pengembangan intelektual
Iqbal dimulai.
Iqbal memilih melanjutkan di Cambridge
University, Inggris. Ia belajar filsafat dengan Mc. Taggart, kemudian
mengambil gelar doktor (Ph.D) di Munich, Jerman dan lulus pada tahun1908 dengan
disertasi berjudul The development of Methapysics of Persia. Didalam disertasi inilah Iqbal mengkritik tajam ajaran
tasawwuf dengan mengatakan tidak mempunyai dasar yang kukuh dan historis dalam
ajaran Islam yang murni.
Iqbal melihat ada nilai-nilai baik
yang transendental yang tak dimiliki oleh Eropa. Barat, menurut Iqbal kehilangan
semangat spritual dan terlalu menumpukan pada rasio dalam menjawab setiap
problematika. ”Meskipun ia mengakui Eropa baik, tapi ia yakin Islam lebih baik”. Dia kembali dari Eropa sebagai Pan-Islamis bahkan bisa
dikatakan sebagai puritan.
Perubahan spiritual dan ideologis
Iqbal makin dalam dari nasionalis menjadi kampiun kebangsaan Muslim dia merasa
yakin bahwa antara Hindu dan Islam harus punya negara masing-masing secara
terpisah dan tindakannya sendiri sudah jelas.
Iqbal kembali pada tahun 1908. Dia
berprofesi sebagai pengacara, guru besar di Universitas dan sekaligus sebagai penyair.
Namun dia meninggalkan profesinya dan menjadi penyair sejati.
Ia berpendapat bahwa kemunduran ummat Islam selama lima ratus tahun terakhir
disebabkan oleh kebekuan dalam pemikiran. Di Pakistan
inilah bukunya banyak dihasilkan.
Karya yang berbahasa Persia Asrar-i-
Khindi, Rumuz-i-Berkhudi, Payam-i-Masriq, Zaburi-i- Ajam,
Jawid Namah, Pasceh Baid Aye Aqwam-i-Syarq dan Lala-i-Thur.
Yang berbahasa Urdu : Ilmu
Al-Iqtisad (ilmu ekonomi), Bang-i-Dara, Bal-i- Jibril, Zarb-i-Kalim,
Arughan-i-Hijaz, Iblis ki Majlis-i-Syura, Iqbal Namas, Makatib
Iqbal, dan Bagiyat-i-Iqbal.
Karya berbahasa Inggris : Develoment
of Methaphysies in Persia : A Contribution to the history of Moslem, Philoshopy
(perkembangan metafisika Persia suatu sumbangan untuk sejarah filsafat Islam)
dan the Reconstroction of Religius Thought in Islam (Pembangunan kembali alam
pikiran Islam).
Pergeseran pemikiran Iqbal dapat
dilihat dalam karyanya yang berjudul Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam.
Buku ini kumpulan dari enam ceramahnya di Madras, Hyderabad dan Aligarh. Edisi
pertama buku ini terbit di Lahore pada 1930, berjudul Six Lecturer on the
Reconsturction of Religious Thought in Islam.
Pada edisi berikutnya disederhanakan
menjadi - The Reconstruction of Religious Thought in Islam disini dia
telah mencapai posisinya sebagai pemikir liberal yang telah mencapai kematangan
intelektual. Dia mengecam terhadap filsafat Yunani, terutama Plato, sebagai
penyebab mundurnya ummat Islam.
Sebagai seorang Islam yang di didik
dengan cara kesufian, Iqbal percaya kalau al-Qur’an itu
memang benar diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad dengan perantara
Malaikat Jibril dengan sebenar-benar percaya, kedudukannya adalah sebagai
sumber hukum yang utama dengan pernyataannya al Qur’an adalah kitab yang lebih
mengutamakan amal daripada cita-cita.
Namun demikian dia menyatakan bahwa
bukanlah al – Qur’an itu suatu
undang-undang. Dia dapat berkembang sesuai dengan perubahan zaman, pintu
ijtihad tidak pernah tertutup. Tujuan sebenarnya al Qur’an adalah membangkitkan
kesadaran manusia yang lebih tinggi dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam
semesta, Al-qur’an tidak memuatnya secara detail maka manusialah dituntut
pengembangannya.
Ini didalam rumusan fiqh
dikembangkan dalam prinsip ijtihad, oleh iqbal disebut prinsip gerak dalam
struktur Islam. Disamping itu al – Qur’an memandang bahwa kehidupan adalah satu
proses cipta yang kreatif dan progresif. Oleh karenanya, walaupun al – Qur’an
tidak melarang untuk mempertimbangkan karya besar ulama terdahulu, namun
masyarakat juga harus berani mencari rumusan baru secara kreatif dan inovatif
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. “ Akibat pemahaman
yang kaku terhadap pendapat ulama terdahulu, maka ketika masyarakat bergerak
maju, hukum tetap berjalan di tempatnya”.
Akan tetapi, kendatipun Iqbal sangat menghargai perubahan
dan penalaran ilmiah dalam memahami al Qur’an, namun dia melihat ada
dimensi-dimensi didalam al Qur’an yang sudah merupakan ketentuan yang baku dan
tidak dapat dirubah serta harus dikonservasikan, sebab ketentuan itu berlaku
konstan.
Menurutnya para mullah dan sufi
telah membawa umat Islam jauh dari maksud al Qur’an sebenarnya. Pendekatan
mereka tentang hidup menjadi negatif dan fatalis. Iqbal mengeluh ketidakmampuan
umat Islam India dalam mamahami al-Qur’an
disebabkan ketidakmampuan terhadap memahami bahasa Arab dan telah salah impor
ide-ide India ( Hindu ) dan Yunani ke dalam Islam dan al-Qur’an.
Dia begitu terobsesi untuk
menyadarkan umat islam untuk lebih progresif dan dinamis dari keadaan statis
dan stagnan dalam menjalani kehidupan duniawi. Karena berdasarkan pengalaman,
agama Yahudi dan Kristen telah gagal menuntun umat manusia menjalani kehidupan.
Kegagalan Yahudi disebabkan terlalu mementingkan segi-segi legalitas dan
kehidupan duniawi.
Sedangkan Kristen gagal dalam
memberikan nilai-nilai kepada pemeliharaan negara, undang-undang dan
organisasi, karena lebih mementingkan segi-segi ritual dan spritual saja. Dalam
kegagalan kedua agama tersebut al-Qur’an berada ditengah-tengah dan sama-sama mementingkan
kehidupan individual dan social, ritual dan moral.
Al-Qur’an mengajarkan keseimbangan
kedua sisi kehidupan tersebut, tanpa membeda-bedakannya. Baginya antara politik pemerintahan dan agama
tidak ada pemisahan sama sekali, inilah yang dikembangkannya dalam merumuskan
ide berdirinya negara Pakistan yang memisahkan diri dari India yang mayoritas
Hindu.
Pandangan Iqbal tentang kehidupan
yang equilbirium antara moral dan agama, etik dan politik, ritual dan duniawi,
sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam pemikiran Islam. Namun, dalam
perjalanan sejarah pemikiran yang demikian
terkubur bersama arus kehidupan politik umat Islam yang semakin memburuk,
terutama sejak keruntuhan dan kehancuran Bagdad, 1258. Sehingga masyarakat Islam tidak mampu lagi
menangkap visi dinamis dalam doktrin Islam (al-Qur’an).
Akhirnya walaupun tidak ditegaskan
kedalam konsep oleh para mullah lahirlah pandangan pemisahan antara kehidupan
dunia dan agama yang menyeret umat untuk meninggalkan kehidupan duniawi
akibatnya, hukum pun menjadi statis dan al-Qur’an tidak mampu di jadikan
sebagai referensi utama dalam hal menjawab setiap problematika.
Inilah yang terjadi dalam lingkungan
sosial politik umat Islam. Oleh sebab itu, Iqbal ingin menggerakkan umat Islam
untuk kreatif dan dinamis dalam menghadapi hidup dan menciptakan
perubahan-perubahan dibawah tuntunan ajaran al – Qur’an.
Nilai-nilai dasar ajaran al – Qur’an
harus dapat dikembangkan dan digali secara serius untuk dijadikan pedoman dalam
menciptakan perubahan itu. Kuncinya adalah dengan mengadakan pendekatan
rasional al – Qur’an dan mendalami semangat yang terkandung didalamnya, bukan
menjadikannya sebagai buku Undang-undang yang berisi kumpulan
peraturan-peraturan yang mati dan kaku.
Akan tetapi, kendatipun Iqbal sangat
menghargai perubahan dan penalaran ilmiah dalam memahami al – Qur’an, namun ia
melihat ada dimensi-dimensi didalam al – Qur’an yang sudah merupakan ketentuan
yang baku dan tidak dapat dirubah serta harus di konservasikan ( pertahankan),
sebab ketentuan itu berlaku konstan.
Sejak dulu hadist memang selalu
menjadi bahan yang menarik untuk dikaji. Baik umat Islam maupun kalangan
orientalis. Tentu saja maksud dan titik berangkat dari kajian tersebut berbeda
pula. Umat Islam didasarkan pada rasa tanggung jawab yang begitu besar terhadap
ajaran Islam. Sedangkan orientalis mengkajinya hanya untuk kepentingan ilmiah.
Bahkan terkadang hanya untuk mencari kelemahan ajaran Islam itu lewat ajaran
Islam itu sendiri.
Kalangan orientalis yang pertama
kali melakukan studi tentang hadist adalah Ignaz Goldziher. Menurutnya sejak
masa awal Islam dam masa-masa berikutnya, mengalami proses evolusi, mulai dari
sahabat dan seterusnya hingga menjadi berkembang di mazhab-mazhab fiqih. Iqbal
menyimpulkan bahwa dia tidak percaya pada seluruh hadist koleksi para ahli
hadist.
Iqbal setuju dengan pendapat Syah
Waliyullah tentang hadist, yaitu cara Nabi dalam menyampaikan Da’wah Islamiyah
adalah memperhatikan kebiasaan, cara-cara dan keganjilan yang dihadapinya
ketika itu. Selain itu juga Nabi sangat memperhatikan sekali adat istiadat
penduduk setempat. Dalam penyampaiannya Nabi lebih menekankan pada
prinsip-prinsip dasar kehidupan sosial bagi seluruh umat manusia, tanpa terikat
oleh ruang dan waktu.
Jadi peraturan-peraturan tersebut
khusus untuk umat yang dihadapi Nabi. Untuk generasi selanjutnya,
pelaksanaannya mengacu pada prinsip kemaslahatan. Dari pandangan ini Iqbal
menganggap wajar saja kalau Abu hanifah lebih banyak mempergunakan konsep istihsan
dari pada hadist yang masih meragukan kualitasnya.
Ini bukan berarti hadist-hadist pada
zamannya belum dikumpulkan, karena Abdul Malik dan Al Zuhri telah membuat
koleksi hadist tiga puluh tahun sebelum Abu Hanifah wafat. Sikap ini diambil
Abu Hanifah karena ia memandang tujuan-tujuan universal hadist daripada koleksi
belaka.
Oleh karenanya, Iqbal memandang
perlu umat Islam melakukan studi mendalam terhadap literatur hadist dengan
berpedoman langsung kepada Nabi sendiri selaku orang yang mempunyai otoritas
untuk menafsirkan wahyu-Nya. Hal ini sangat besar faedahnya dalam memahami
nilai hidup dari prinsip-prinsip hukum Islam sebagaimana yang dikemukakan al –
Qur’an.
Pandangan Iqbal tentang pembedaan
hadist hukum dan hadist bukan hukum agaknya sejalan dengan pemikiran ahli ushul
yang mengatakan bahwa hadist adalah penuturan, perbuatan dan ketetapan Nabi saw
yang berkaitan dengan hukum seperti mengenai kebiasaan-kebiasaan Nabi yang
bersifat khusus untuknya, tidak wajib diikuti dan diamalkan.
Katanya barsungguh-sungguh dalam
membentuk suatu keputusan yang bebas untuk menjawab permasalahan hukum. Kalau
dipandang baik hadist maupun al-Qur’an mamang ada rekomendasi tentang ijtihad
tersebut, disamping ijtihad pribadi, hukum Islam juga memberi rekomendasi
keberlakuan ijtihad kolektif.
Ijtihad inilah yang selama
berabad-abad dikembangkan dan dimodifikasi oleh para ahli hukum Islam dalam
mengantisipasi setiap permasalahan masyarakat yang muncul, sehingga melahirkan
aneka ragam pendapat (mazdhab), Sebagaimana pandangan mayoritas ulama, Iqbal
membagi kualifikasi ijtihad kedalam tiga tingkatan, yaitu :
- Otoritas penuh dalam menentukan
perundang-undangan yang secara praktis hanya terbatas pada pendiri
madzhab-madzhab saja.
- Otoritas relatif yang hanya
dilakukan dalam batas-batas tertentu dari satu madzhab.
- Otoritas Khusus yang
berhubungan dengan penetapan hukum dalam kasus-kasus tertentu, dengan
tidak terikat pada ketentuan-ketentuan pendiri madzdab.
Namun Iqbal lebih memberi perhatian
pada derajat yang pertama saja. Menurut Iqbal, kemungkinan derajat ijtihad ini
memang disepakati diterima oleh ulama ahl- al- sunnah, tetapi dalam
kenyataannya telah dipungkiri sendiri sejak berdirinya madzhab-madzhab. Ide
ijtihad ini dipagar dengan persyaratan ketat yang hampir tidak mungkin
dipenuhi. Sikap ini, lanjut Iqbal, adalah sangat ganjil dalam satu sistem hukum
al Qur’an yang sangat menghargai pandangan dinamis.
Akibat ketatnya ketentuan ijtihad
ini, akhirnya hukum Islam selama lima ratus tahun mengalami stagnasi dan tidak
mampu berkembang. Ijtihad yang menjadi konsep dinamis hukum Islam hanya tinggal
sebuah teori-teori mati yang tidak berfungsi dan menjadi kajian-kajian masa
lalu saja.
Demikian juga ijma’ hanya menjadi
mimpi untuk mengumpulkan para ulama, apalagi dalam konsepnya satu saja ulama
yang tidak setuju maka batallah keberlakuan ijma’ tersebut, hal ini dikarenakan
kondisi semakin meluasnya daerah Islam. Akhirnya kedua konsep ini hanya tinggal
teori saja, konskuensinya, hukum Islam pun statis tak berkembang selama
beberapa abad. Iqbal mendeteksi penyebab kemunduran Islam itu ada tiga faktor :
Gerakan rasionalisme yang liar,
dituduh sebagai penyebab disintegarasi umat Islam dengan melempar isu keabadian
al – Qur’an. Oleh karena itu, kaum konservatif hanya
memilih tempat yang aman dengan bertaklid kepada imam-imam mazhab. Dan sebagai
alat yang ampuh untuk membuat umat tunduk dan diam.
Disamping itu, perkembangan ini melahirkan fenomena baru, yaitu lahirnya
kecendrungan menghindari duniawi dan mementingkan akhirat dan menjadi apatis.
Akhirnya Islam menjadi lemah tak berdaya.
Setelah Islam menjadi lemah
penderitaan terus berlanjut pada tahun 1258 H kota pusat peradaban Islam
diserang dan diporak-porandakan tentara mongol pimpinan Hulagu Khan.
Sejak itulah lalu timbul
disintegrasi. Karena takut disintegrasi itu akan menguak lebih jauh, lalu kaum
konsrvatif Islam memusatkan usaha untuk menyeragamkan pola kehidupan sosial
dengan mengeluarkan bid’ah-bid’ah dam menutup pintu ijtihad. Ironisnya ini
semakin memperparah keadaan dalam dunia Islam.
Bagi Iqbal untuk membuang kekakuan
ini hanya dengan jalan menggalakkan kembali ijtihad-ijma’ dan merumuskannya
sesuai dengan kebutuhan zaman modern saat sekarang. Namun demikian, rumusan
ijtihad juga harus tetap mengacu kepada kepentingan masyarakat dan kemjuan
umum. Bukan berdasarkan pemikiran-pemikiran spekulatif subjektif yang
bertentangan dengan semangat dan nilai dasar hukum Islam.
Oleh karenanya Iqbal memandang perlu
mengalihkan kekuasaan ijtihad secara pribadi menjadi ijtihad kolektif atau
ijma’. Pada zaman modern, menurut Iqbal, peralihan kekuasaan ijtihad individu
yang mewakili madzhab tertentu kepada lembaga legislatif Islam adalah
satu-satunya bentuk paling tepat bagi ijma’. Hanya cara inilah yang dapat
menggerakkan spirit dalam sistem hukum Islam yang selama ini telah hilang dari
dalam tubuh umat Islam.
Kesimpulan
Muhammad Iqbal merupakan sosok
pemikir multi disiplin. Di dalam dirinya berhimpun kualitas kaliber
internasional sebagai seorang sastrawan, negarawan, ahli hukum, pendidik,
filosof dan mujtahid. Sebagai pemikir Muslim dalam arti yang sesungguhnya,
Iqbal telah merintis upaya pemikiran ulang terhadap Islam secara liberal dan
radikal.
Posting Komentar Blogger Facebook