INGIN IKLAN ANDA DISINI ? Dapatkan Tawaran Menarik Silahkan Kontak Admin Terima Kasih |
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا
لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ
بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ(267)الشَّيْطَانُ
يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً
مِنْهُ وَفَضْلًا وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ(268)
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman,
nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan
sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu
memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri
tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan
ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Syaitan menjanjikan
(menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan
(kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan
Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Kalau ayat-ayat
sebelum ini berbicara tentang motivasi memberi nafkah, baik tulus maupun tidak tulus,
maka ayat ini menguraikan nafkah yang diberikan serta sifat nafkah tersebut.
Yang pertama digarisbawahinya adalah bahwa yang dinafkahkan hendaknya yang
baik-baik. Tetapi tidak harus semua dinafkahkan, cukup sebagian saja. Ada yang
berbentuk wajib dan ada juga yang anjuran. Selanjutnya dijelaskan bahwa yang
dinafkahkan itu adalah dari hasil usaha kamu dan dari apa yang kami, yakni
Allah keluarkan dari bumi.
Tentu saja
hasil usaha manusia bermacam-macam, bahkan dari hari ke hari dapat muncul
usaha-usaha baru yang belum dikenal sebelumnya, seperti usaha jasa dengan
keanekaragamannya. Semuanya dicakupi oleh ayat ini dan semuanya perlu
dinafkahkan sebagian darinya. Demikian juga yang kami keluarkan dari bumi untuk
kamu, yakni hasil pertanian. Kalau memahami perintah ayat ini dalam arti
perintah wajib, maka semua hasil usaha apapun bentuknya, wajib dizakati,
termasuk gaji yang diperoleh seorang pegawai, jika gajinya telah memenuhi
syarat-syarat yang ditetapkan dalam konteks zakat. Demikian juga hasil
pertanian, baik yang telah dikenal pada masa Nabi, maupun yang belum dikenal
atau yang tidak dikenal di tempat turunnya ayat ini. Hasil pertanian seperti
cengkeh, lada, buah-buahan dan lain-lain semuanya dicakup oleh makna kalimat
yang kami keluarkan dari bumi.
Sekali lagi,
pilihlah yang baik-baik dari apa yang kamu nafkahkan itu, walaupun tidak harus semuanya
baik, tetapi jangan sampai kamu dengan sengaja memilih yang buruk-buruk lalu
kamu nafkahkan darinya. Ini bukan berarti yang dinafkahkan haruslah yang
terbaik. Memang yang demikian itu amat terpuji, tetapi bukan berarti jika bukan
yang terbaik maka pemberian dinilai sia-sia. Nabi SAW bahkan berpesan kepada
sahabat beliau, Muaz ibn Jabal ra. yang beliau utus ke Yaman, agar dalam
memungut zakat menghindari harta terbaik kaum muslimin. Yang dilarang oleh ayat
ini adalah yang dengan sengaja mengumpulkan yang buruk kemudian menyedekahkannya.
Selanjutnya,
ayat ini mengingatkan para pemberi nafkah agar menempatkan diri pada tempat orang
yang menerima, bukankah kamu sendiri tidak mau mengambil yang buruk-buruk itu,
melainkan dengan memicingkan mata?
Akhir ayat ini
mengingatkan bahwa Allah Maha Kaya. Dia tidak butuh kepada sedekah, baik
pemberian untuk-Nya maupun untuk makhluk-makhluk-Nya. Allah dapat memberi
mereka secara langsung. Perintah-Nya kepada manusia agar memberi nafkah kepada
yang butuh bukan karena Allah tidak mampu memberi secara langsung, tetapi
perintah itu adalah untuk kepentingan dan kemaslahatan si pemberi. Namun
demikian, Dia Maha Terpuji, antara lain karena Dia memberi ganjaran terhadap
hamba-hamba-Nya yang bersedekah.
Memang untuk
bersedekah dan menafkahkan harta di jalan Allah, seringkali timbul bisikan
melarang dan menakut-nakuti. Itu adalah ulah setan. Dia yang menakut-nakuti
manusia terjerumus dalam kemiskinan. Apakah setan itu? Setan merupakan lambang
kejahatan atau bahkan wujud kejahatan sehingga ia bagaikan sesuatu yang
bersifat indrawi dan nyatabukan imajinatif dan abstrak.
Namun demikian,
para ilmuwan berbeda pendapat tentang asal kata setan dan hakikatnya. Ada yang
menduga bahwa kata “setan” atau syaithan dalam bahasa Arab terambil dari
bahasa Ibrani yang berarti lawan atau musuh. Alasannya antara lain adalah bahwa
kata itu sudah dikenal dalam agama Yahudi yang lahir mendahului agama Kristen
dan Islam. Seperti diketahui, orang-orang Yahudi menggunakan bahasa Ibrani.
Pakar-pakar
bahasa Arab menyatakan, bahwa syaithan (setan) merupakan kata Arab asli yang
sudah sangat tua, bahkan bisa jadi lebih tua dari kata-kata serupa yang
digunakan oleh selain orang Arab. Ini dibuktikan dengan adanya sekian kata Arab
asli yang dapat dibentuk dengan bentuk kata syaithan. Misalnya syathatha “شطط”, syatha “شاط”, syawata “شوط”, syathana “شطن” yang mengandung makna jauh, sesat,
berkobar dan terbakar serta ekstrim.
Dalam kamus
al-Mishbah al-Munir, karya Ahmad ibn Muhammad Ali al-Fayyumi (1368) dijelaskan
bahwa kata syaithan bisa jadi terambil dari akar kata syathana yang berarti
jauh, karena setan menjauh dari kebenaran atau menjauh dari rahmat Allah. Bisa
jadi ia terambil dari kata syaatha dalam arti melakukan kebatilan atau
terbakar.
Dari sekian
ayat al-qur’an dan hadis, penulis memperoleh kesan bahwa kata setan tidak
terbatas pada manusia dan jin, tetapi juga dapat berarti pelaku sesuatu yang
buruk atau tidak menyenangkan atau sesuatu yang buruk dan tercela. Bukankah
setan merupakan lambang kejahatan dan keburukan?
Jin adalah
makhluk halus yang diciptakan oleh Allah dari api. Jin yang membangkang dan
mengajak kepada kedurhakaan adalah satu jenis setan. Manusia yang durhaka dan
mengajak kepada kedurhakaan juga dinamai setan. Jadi setan tidak selalu berupa
jin tetapi dapat juga dari jenis manusia. Di sisi lain, setan bukan sekedar
durhaka atau kafir tetapi sekaligus juga mengajak kepada kedurhakaan.
Mutawalli
al-Sya’rawi mengemukakan, dalam bukunya yang berjudul al-syithan wa al-insan,
lebih kurang menjelaskan sebagai berikut “kita harus tahu bahwa ada setan-setan
dari jenis jin dan setan dari jenis manusia. Kedua jenis itu dihimpun oleh
sifat yang sama dan juga tugas yang sama, yaitu menyebarluaskan kedurhakaan dan
pengrusakan di bumi. Setan-setan jin adalah mereka yang durhaka dari jenis jin
yang membendung kebenaran dan mengajak kepada kekufuran. Setan-setan jenis
manusia melaksanakan tugas yang sama.”. Apa yang dikemukakan ini berdasarkan
firman Allah; “ demikianlah Kami jadikan bagi setiap Nabi itu musuh, yaitu
setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka
membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah
untuk menipu manusia (al-An’am : 112).
Siapa pun yang
dimaksud dengan setan dalam ayat ini, yang jelas setan menakut-nakuti kamu
dengan kemiskinan, dalam arti bila manusia bermaksud bersedekah, ada bisikan
dalam hati manusia yang dibisikkan oleh setan, “jangan bersedekah, jangan
menyumbang, hartamu akan berkurang padahal engkau memerlukan harta itu, jika
kamu menyumbang maka kamu akan terpuruk dalam kemiskinan”.
Selain itu,
setan juga menyuruh berbuat fahisyah. Ada yang memahami kata ini dalam arti
kikir. Penulis tidak cenderung memahaminya demikian, karena menyuruh kepada kekikiran
telah dicakup maknanya oleh menakut-nakuti terjerumus dalam kemiskinan. Siapa
yang takut miskin dia pasti kikir. Memang bahasa menggunakannya dalam arti
kikir, tetapi hemat penulis memahaminya dalam arti yang lebih luas adalah lebih
baik. Fahisyah adalah segala sesuatu yang dihimpun oleh apa yang dianggap
sangat buruk oleh akal sehat, agama dan naluri manusia.
Dalam konteks
ayatini termasuk kikir, menyebut-nyebut yang diberikan, menyakiti hati pemberi
dan sebagainya. Seorang yang kikir, apalagi yang memiliki kelebihan,
kekikirannya membuahkan dengki dan iri hati anggota masyarakat dan jika ini terjadi
maka setan menyuruh dan mendorong anggota masyarakat untuk melakukan aneka
kejahatan seperti pencurian, perampokan, pembunuhan dan sebagainya. Disisi
lain, kekikiran melahirkan sifat rakus untuk enggan bernafkah dan pada
gilirannya menjadi lahan yang sangat subur bagi setan untuk mengantar kepada
aneka kejahatan. Demikian ulah setan, menakut-nakuti dan menyuruh kepada
kejahatan.
Kalau demikian
ulah setan, Allah sungguh jauh dari itu. Allah menjanjikan untuk kamu ampunan
dari-Nya dan kelebihan. Siapa yang menafkahkan hartanya, maka dosa-dosanya akan
diampuni. Demi janji Allah : ”tidaklah mereka mengetahui bahwa Allah menerima
taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat dan bahwa Allah Maha Penerima
Taubat lagi Maha Penyayang”. (al-Taubah : 104). Bukan hanya itu, Allah juga
menjanjikan siapa yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, maka harta itu
dilipatgandakan.
Bukankah
sebutir benih menjadi tujuh ratus benih, bahkan lebih? Jangan menduga ini hanya
dari segi keberkatan. Tidak! Dengan menafkahkan harta, yang diberi memiliki
daya beli sehingga arus perdagangan bertambah, kedengkian pun hilang, sehingga
ketentraman bagi pemberi bertambah, dan dengan demikian ia dapat berkonsentrasi
meningkatkan usahanya. Di sisi lain, stabilitas keamanan terwujud, sehingga
jalur perekonomian dapat lebih lancar. Semua itu adalah kelebihan dan
peningkatan. Memang, Allah Maha Luas (anugerah-Nya) lagi Maha Mengetahui.
إِنَّ
الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا(19)إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا(20)وَإِذَا مَسَّهُ
الْخَيْرُ مَنُوعًا(21)إِلَّا الْمُصَلِّينَ(22)الَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ(23)وَالَّذِينَ
فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ(24)لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ(25)
Artinya :
Sesungguhnya manusia diciptakan
bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh
kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang
mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya, dan
orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin)
yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).
Ayat yang lalu
menggambarkan keberpalingan manusia yang durhaka dari kebenaran. Ayat di atas
menggambarkan sebab yang mengantar mereka ke sana. Allah berfirman “sesungguhnya
jenis manusia disiptakan bersifat gelisah dan rakus. Ini tercermin pada
sikapnya yang apabila ia disentuh yakni ditimpa walau sedikit kesusahan ia
sangat berkeluh kesah dan apabila ia mendapat kebaikan seperti limpahan harta
atau rezeki lainnya ia amat kikir.
Kata halu’an “هَلُوْعًا” terambil dari kata hala’a “هلع” yang berarti cepat gelisah atau
keinginan meluap-luap semacam rakus. Thaba’thaba’i mengomentari ayat di atas
antara lain bahwa keinginan manusia meraih segala sesuatu yang merupakan
potensi manusiawi yang dilekatkan Allah pada diri manusia, bukannya keinginan
untuk meraih segala sesuatu baik atau buruk berguna atau tidak, tetapi
keinginan meluap untuk meraih kebaikan dan manfaat. Bukan juga keinginan meluap
untuk meraih kebaikan dan manfaat baik berkaitan dengan dirinya maupun orang
lain, tetapi apa yang dinilainya baik dan bermanfaat untuk dirinya.
Nah, keinginan
meluap inilah yang menjadikan manusia goyah dan bimbang ketika ia disentuh oleh
keburukan (lawan kebaikan) dan enggan memberi kebaikan itu ketika ia
memperolehnya serta mengutamakan dirinya sendiri atas orang lain, kecuali bila
ia menilai bahwa memberinya mengundang kedatangan kebaikan dan manfaat yang
lebih besar buat dirinya. Dengan demikian keluh kesah ketika disentuh keburukan
dan kikir ketika meraih kebaikan dan rezeki merupakan akibat dari penciptaannya
menyandang sifat hala’ yang gelisah dan berkeinginan meluap.
Sifat tersebut
yang merupakan naluri manusia dan yang merupakan bagian dari cinta diri sendiri
(egoisme) bukanlah sesuatu yang buruk. Betapa ia dinilai buruk, padahal itulah
satu-satunya cara yang mengundang manusia untuk meraih kebahagiaannya dan
kesempurnaan wujudnya. Memang ia akan menjadi buruk kalau manusia keliru
menggunakannya yakni menggunakannya dalam hal-hal yang dibolehkan dan tidak
dibolehkan, dengan hak dan dengan batil. Ia akan menjadi sifat yang terpuji sebagaimana
halnya sifat-sifat yang lain – jika diterapkan sisi keseimbangan.
Bila ia
menyimpang arah, berlebih atau berkurang, maka ia akan menjadi sifat buruk dan
tercela. Manusia sejak kecil memiliki sifat tersebut dan bertindak atas dasar
apa yang dianggap baik untuk dirinya atau buruk, ini berdasar naluri
manusiawinya. Ia melakukan kegiatannya tanpa dibatasi oleh batas tertentu dari
dalam dirinya, tetapi ia telah dianugerahi akal dan mengetahui yang hak dan
yang batil, yang baik dan yang buruk serta dan hatinya mengakui apa yang
diketahuinya itu, maka ketika itu berubah sekian banyak pemahamannya tentang
hak dan batil, baik dan buruk sehingga banyak hal yang tadinya dianggap baik,
kini dinilainya buruk, demikian juga sebaliknya. Demikian lebih kurang
Thathaba’i yang kemudian menegaskan bahwa sebenarnya tidak ada masalah dalam
pernyataan ayat di atas bahwa manusia diciptakan menyandang sifat-sifat yang
disebut ayat di atas, karena sifat-sifat itu baru tercela akibat ulah manusia
yang menggunakan nikmat Allah itu tidak sesuai dengan yang dikehendaki-Nya.
Pada ayat 22
dihubungkan dengan ayat sebelumnya, seakan-akan Allah menyatakan bahwa ada
orang-orang yang tidak menyandang sifat-sifat yang disebut sebelumnya, mereka
itu adalah para yang shalat dan melaksanakannya secara tetap dan pada waktunya.
Pengecualian ini mengesankan bahwa sifat-sifat yang disebut sebelumnya adalah
sifat-sifat buruk yang tidak disandang oleh orang-orang mukmin. Banyak ulama
tafsir masa lalu yang memahaminya demikian. Tetapi ulama kontemporer antara
lain Thaba’thaba’i dan Ibn Asyur menegaskan bahwa sifat yang diuraikan
ayat-ayat yang lalu adalah sifat bawaan manusia, hanya saja kedua ulama ini
berbeda pendapat tentang pengecualiaan tersebut.
Thabathaba’i
memahaminya berhubungan dengan ayat-ayat sebelumnya secara langsung, hanya saja
ulama ini menegaskan bahwa pengecualian orang-orang yang melaksanakan shalat
dan lain-lain bukan berarti bahwa mereka tidak dilengkapi dengan naluri itu,
tetapi bahwa mereka menggunakannya sesuai dengan tuntunan Allah serta
memfungsikannya sesuai dengan fungsinya yang sebenarnya. Ayat di atas bagaikan
menyatakan “kecuali para yang shalat yang mereka itu menyangkut shalat mereka
tetap melakukannya pada waktunya secara berkesinambungan tanpa meninggalkan
satu shalat pun.
Thahir ibn
Asyur tidak memahami pengecualian itu berkaitan dengan bawaan manusiayang
disebut oleh ayat 19 dan yang menjelaskan maknanya oleh ayat 20-21. Tetapi
menurutnya ayat 22 itu berkaitan dengan firman-Nya pada ayat 11 yang lalu. Ayat
22 itu menurutnya bagaikan berkata “para pendurhaka berkeinginan untuk menebus
dirinya dengan anak-anak mereka agar terhindar dari siksa, tetapi para yang
shalat yang mereka itu menyangkut shalat mereka tetap melakukannya pada
waktunya secara berkesinambungan serta menyandang sifat-sifat seperti yang
disebut berikut – mereka itu tidak akan mengalami siksa dan akan masuk sorga.
Akhir ayat yang
lalu menguraikan sifat bawaan manusia secara umum dan mengecualikan – dalam
arti memuji orang-orang yang melaksanakan shalat secara tetap sebagai
orang-orang yang menggunakan secara baik potensi yang dianugerahkan Allah itu.
Ayat itu sekaligus menggambarkan juga harmonisnya hubungan yang bersangkutan
dengan Allah SWT. Kini melalui ayat di atas digambarkan keharmonisan hubungan
mereka dengan anggota masyarakat apalagi kaum lemah. Ini jika anda memahami
ayat yang lalu sebagaimana pemahaman Thabathaba’i.
Tetapi jika
anda memahaminya sebagaimana difahami oleh Ibn Asyur maka menurut ulama asal
Tunisia itu ayat yang lalu dan ayat-ayat di atas demikian pula ayat-ayat
berikut merupakan uraian tentang sifat-sifat kaum mukminin yang bertolak
belakang dengan sifat-sifat orang-orang yang disebut sebelum ini. Ada delapan
sifat yang disebutkan satu persatu dan secara berdiri sendiri guna
mengisyaratkan bahwa setiap sifat yang disebut itu merupakan salah satu sebab
yang dapat mengantar pelakuknya menjadi penghuni sorga.
Ayat-ayat di
atas menyatakan “orang-orang yang di dalam harta mereka ada hak,yakni bagian
tertentu yang mereka peruntukkan bagi orang-orang yang butuh yang meminta
dan dan yang tidak mempunyai apa-apa tetapi enggan dan malu meminta dan orang-orang
yang mempercayai keniscayaan hari Pembalasan sehingga mempersiapkan bekal.
Sementara ulama
memahami makna “حق معلوم”
dalam arti zakat, karena zakat adalah kewajiban yang telah tertentu kadarnya.
Ulama lain memahaminya dalam arti kewajiban yang ditetapkan sendiri oleh yang
bersangkutan selain zakat dan yang mereka berikan secara suka rela dan jumlah
tertentu kepada fakir miskin. Ini karena ayat di atas dikemukakan dalam konteks
pujian dan tentu saja kedua ini lebih menonjol sifat terpujinya.
Apapun
maknanya, yang jelas salah satu sifat terpuji mereka yang difahami dari
pemberiannya kepada al-mahrum adalah bahwa mereka berusaha mencari siapa yang
butuh lalu memberinya tanpa dimintai.
Posting Komentar Blogger Facebook