INGIN IKLAN ANDA DISINI ?
Dapatkan Tawaran Menarik
Silahkan Kontak Admin
Terima Kasih



Kepemimpinan (leadership) adalah kegiatan manusia dalam kehidupan. Secara etimologi, kepemimpinan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata dasar “pimpin” yang jika mendapat awalan “me” menjadi “memimpin” yang berarti menuntun, menunjukkan jalan dan membimbing. Perkataan lain yang sama pengertiannya adalah mengetuai, mengepalai, memandu dan melatih dalam arti mendidik dan mengajari supaya dapat mengerjakan sendiri. 

Adapun pemimpin berarti orang yang memimpin atau mengetuai atau mengepalai. Sedang kepemimpinan menunjukkan pada semua perihal dalam memimpin, termasuk kegiatannya. 

http://www.ponpeshamka.com/2015/11/memahami-ayat-tentang-kepemimpinan.html
Kepemimpinan adalah masalah relasi dan pengaruh antara pemimpin dan yang dipimpin. Kepemimpinan tersebut muncul dan berkembang sebagai hasil dari interaksi otomatis di antara pemimpin dan individu-individu yang dipimpin (ada relasi inter-personal). 

Kepemimpinan ini bisa berfungsi atas dasar kekuasaan pemimpin untuk mengajak, mempengaruhi dan menggerakkan orang lain guna melakukan sesuatu demi pencapaian satu tujuan tertentu. Dengan demikian, pemimpin tersebut ada apabila terdapat satu kelompok atau satu organisasi.

Sebenarnya kepemimpinan merupakan cabang dari ilmu administrasi, khususnya ilmu administrasi negara. Ilmu administrasi adalah salah satu cabang dari ilmu-ilmu sosial, dan merupakan salah satu perkembangan dari filsafat. Sedang inti dari administrasi adalah manajemen. 

Dalam kaitannya dengan administrasi dan manajemen, pemimpinlah yang menggerakkan semua sumber-sumber manusia, sumber daya alam, sarana, dana dan waktu secara efektif-efisien serta terpadu dalam proses manajemen dalam suatu kelompok atau organisasi. Keberhasilan suatu organisasi atau kelompok dalam mencapai tujuan yang ingin diraih, bergantung pada kepemimpinan seorang pemimpin. Jadi kepemimpian menduduki fungsi kardinal dan sentral dalam organisasi, manajemen maupun administrasi.


Istilah Kepemimpinan dalam Islam ada beberapa bentuk, yaitu khilafah, imamah, imarah, wilayah, sultan, mulk dan ri’asah. Setiap istilah ini mengandung arti kepemimpinan secara umum. Namun istilah yang sering digunakan dalam konteks kepemimpinan pemerintahan dan kenegaraan, yaitu Khilafah, imamah dan imarah. Oleh karena itu, pembahasan kepemimpinan dalam Islam akan diwakili oleh ketiga istilah ini.


Kata khilafah berasal dari kata khalafa-yakhlifu-khalfun yang berarti al-‘aud atau al-balad yakni mengganti, yang pada mulanya berarti belakang. Adapun pelakunya yaitu orang yang mengganti disebut khalifah  dengan bentuk jamak khulafa’ yang berarti wakil, pengganti dan penguasa.

Kata khalifah sering diartikan sebagai pengganti, karena orang yang menggantikan datang sesudah orang yang digantikan dan ia menempati tempat dan kedudukan orang tersebut. Khalifah juga bisa berarti seseorang yang diberi wewenang untuk bertindak dan berbuat sesuai dengan ketentuan-ketentuan orang memberi wewenang. Menurut al-Ragib al-Asfahani, arti “menggantikan yang lain” yang dikandung kata khalifah berarti melaksanakan sesuatu atas nama yang digantikan, baik orang yang digantikannya itu bersamanya atau tidak.

Istilah ini di satu pihak, dipahami sebagai kepala negara dalam pemerintahan dan kerajaan Islam di masa lalu, yang dalam konteks kerajaan pengertiannya sama dengan kata sultan. Di lain pihak, cukup dikenal pula pengertiannya sebagai wakil Tuhan di muka bumi yang mempunyai dua pengertian. Pertama, wakil Tuhan yang diwujudkan dalam jabatan sultan atau kepala negara. Kedua, fungsi manusia itu sendiri di muka bumi, sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna.

Menurut M. Dawam Rahardjo, istilah khalifah dalam al-Qur’an mempunyai tiga makna. Pertama, Adam yang merupakan simbol manusia sehingga kita dapat mengambil kesimpulan bahwa manusia berfungsi sebagai khalifah dalam kehidupan. Kedua, khalifah berarti pula generasi penerus atau generasi pengganti; fungsi khalifah diemban secara kolektif oleh suatu generasi. Ketiga, khalifah adalah kepala negara atau pemerintahan.

Khilafah sebagai turunan dari kata khalifah, menurut Abu al-A‘la al-Maududi, merupakan teori Islam tentang negara dan pemerintahan. Adapun menurut Ibnu Khaldun dalam bukunya Muqaddimah, khilafah adalah kepemimpinan. Istilah ini berubah menjadi pemerintahan berdasarkan kedaulatan. Khilafah ini masih bersifat pribadi, sedangkan pemerintahan adalah kepemimpinan yang telah melembaga ke dalam suatu sistem kedaulatan.

Menurut Imam Baidawi al-Mawardi dan Ibnu Khaldun, khilafah adalah lembaga yang mengganti fungsi pembuat hukum, melaksanakan undang-undang berdasarkan hukum Islam dan mengurus masalah-masalah agama dan dunia. Menurut al-Mawardi, khilafah atau imamah berfungsi mengganti peranan kenabian dalam memelihara agama dan mengatur dunia.

Posisi khilafah ini mempunyai implikasi moral untuk berusaha menciptakan kesejahteraan hidup bersama berdasarkan prinsip persamaan dan keadilan. Kepemimpinan dan kekuasaan harus tetap diletakkan dalam rangka menjaga eksistensi manusia yang bersifat sementara.

Menurut Bernard Lewis, istilah ini pertama kali muncul di Arabia pra-Islam dalam suatu prasasti Arab abad ke-6 Masehi. Dalam prasasti tersebut, kata khalifah tampaknya menunjuk kepada semacam raja muda atau letnan yang bertindak sebagai wakil pemilik kedaulatan yang berada di tempat lain. Sedangkan setelah Islam datang, istilah ini pertama kali digunakan ketika Abu Bakr yang menjadi khalifah pertama setelah Nabi Muhammad. 

Dalam pidato inagurasinya, Abu Bakr menyebut dirinya sebagai Khalifah Rasulullah yang berarti pengganti Rasulullah. Menurut Aziz Ahmad, istilah ini sangat erat kaitannya dengan tugas-tugas kenabian yaitu meneruskan misi-misi kenabian.

Khilafah dalam perspektif politik Sunni didasarkan pada dua rukun, yaitu konsensus elit politik (ijma') dan pemberian legitimasi (baiat). Karenanya, setiap pemilihan pemimpin Islam, cara yang digunakan adalah dengan memilih pemimpin yang ditetapkan oleh elit politik, setelah itu baru dilegitimasi oleh rakyatnya. Cara demikian menurut Harun nasution, menunjukkan bahwa khilafah bukan merupakan bentuk kerajaan, tetapi lebih cenderung pada bentuk republik, yaitu kepala negara dipilih dan tidak mempunyai sifat turun temurun.

Dalam masalah khilafah, terdapat tiga teori utama, yaitu pendapat pertama menyatakan bahwa pembentukan khilafah ini wajib hukumnya berdasarkan syari’ah atau berdasarkan wahyu. Para ahli fiqh Sunni, antara lain Teolog Abu Hasan al-Asy‘ari, berpendapat bahwa khilafah ini wajib karena wahyu dan ijma’ para sahabat. 

Pendapat kedua, antara lain dikemukakan oleh al-Mawardi, mengatakan bahwa mendirikan sebuah khilafah hukumnya fardu kifayah atau wajib kolektif berdasarkan ijma’ atau konsensus. Al-Gazali mengatakan bahwa khilafah ini merupakan wajib syar'i berdasarkan ijma’. Teori terakhir adalah pendapat kaum Mu‘tazilah yang mengatakan bahwa pembentukan khilafah ini memang wajib  berdasarkan pertimbangan akal.


Imamah berasal dari akar kata amma-yaummu-ammun yang berarti ­al-qasdu yaitu sengaja, al-taqaddum yaitu berada di depan atau mendahului, juga bisa berarti menjadi imam atau pemimpin (memimpin). Imamah di sini berarti perihal memimpin. Sedangkan kata imam merupakan bentuk ism fa’il yang berarti setiap orang yang memimpin suatu kaum menuju jalan yang lurus ataupun sesat. Bentuk jamak dari kata imam adalah a’immah.

Imam  juga berarti bangunan benang yang diletakkan di atas bangunan, ketika membangun, untuk memelihara kelurusannya. Kata ini juga berarti orang yang menggiring unta walaupun ia berada di belakangnya.

Dalam al-Qur’an, kata imam dapat berarti orang yang memimpin suatu kaum yang berada di jalan lurus, seperti dalam surat al-Furqan (25) ayat 74 dan al-Baqarah (2) ayat 124. Kata ini juga bisa berarti orang yang memimpin di jalan kesesatan, seperti yang ditunjukkan dalam surat al-Taubah ayat 12 dan al-Qashas (28) ayat 41. Namun lepas dari semua arti ini, secara umum dapat dikatakan bahwa imam adalah seorang yang dapat dijadikan teladan yang di atas pundaknya terletak tanggung jawab untuk meneruskan misi Nabi SAW. dalam menjaga agama dan mengelola serta mengatur urusan Negara

Term imamah sering dipergunakan dalam menyebutkan negara dalam kajian keislaman. Al-Mawardi mengatakan bahwa imam adalah khalifah, raja, sultan atau kepala negara. Ia memberi pengertian imamah sebagai lembaga yang dibentuk untuk menggantikan Nabi dalam tugasnya menjaga agama dan mengatur dunia. Sebagai tokoh perumus konsep imamah, ia menggagas perlunya imamah, dengan alasan, pertama adalah untuk merealisasi ketertiban dan perselisihan. Kedua, berdasarkan kepada surat al-Nisa’ (4) ayat 59, dan kata uli al-amr menurutnya adalah imamah.

Adapun Taqiyuddin al-Nabhani menyamakan imamah dengan khilafah. Menurutnya, khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke segenap penjuru dunia. Adapun al-Taftazani menganggap imamah dan Khilafah adalah kepemimpinan umum dalam mengurus urusan dunia dan masalah agama.

Menurut Ibnu Khaldun, imamah adalah tanggung jawab umum yang dikehendaki oleh peraturan syariat untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat bagi umat yang merujuk padanya. Oleh karena kemaslahatan akhirat adalah tujuan akhir, maka kemaslahatan dunia seluruhnya harus berpedoman kepada syariat. Adapun penamaan sebagai imam untuk menyerupakannya dengan imam salat adalah dalam hal bahwa keduanya diikuti dan dicontoh.

Pada dasarnya teori imamah lebih banyak berkembang di lingkungan Syi’ah daripada lingkungan Sunni. Dalam lingkungan Syi’ah, imamah menekankan dua rukun, yaitu kekuasaan imam (wilayah) dan kesucian imam (‘ismah). Kalangan Syi’ah menganggap imamah adalah kepemimpinan agama dan politik bagi komunitas muslim setelah wafatnya Nabi, yang jabatan ini dipegang oleh Ali bin Abi Talib dan keturunannya, dan mereka maksum.

Istilah ini muncul pertama kali dalam pemikiran politik Islam tentang kenegaraan yaitu setelah Nabi SAW. wafat pada tahun 632 M. Konsep ini kemudian berkembang menjadi pemimpin dalam salat, dan –setelah diperluas lingkupnya- berarti pemimpin religio-politik (religious-political leadership) seluruh komunitas Muslim, dengan tugas yang diembankan Tuhan kepadanya, yaitu memimpin komunitas tersebut memenuhi perintah-perintah-Nya.

Menurut Ali Syariati, tidak mungkin ada ummah  tanpa imamah. Imamah  tampak dalam sikap sempurna pada saat seseorang dipilih karena mampu menguasai massa dan menjaga mereka dalam stabilitas dan ketenangan, melindungi mereka dari ancaman, penyakit dan bahaya, sesuai dengan asas dan peradaban ideologis, sosial dan keyakinan untuk menggiring massa dan pemikiran mereka menuju bentuk ideal. Dalam pemikirannya mengenai imamah dan  khilafah, Ali syariati menganggap khilafah  cenderung ke arah politik dan jabatan, sedangkan imamah cenderung mengarah ke sifat dan agama.


Imarah berakar kata dari amara-ya'muru-amrun yang berarti memerintah, lawan kata dari melarang. Pelakunya disebut amir  yang berarti pangeran, putra mahkota, raja (al-malik), kepala atau pemimpin (al-ra’is), penguasa (wali). Selain itu juga bisa berarti penuntun atau penunjuk orang buta, dan tetangga. Adapun bentuk jamaknya adalah Umara’.

Kata amara muncul berkali-kali dalam al-Qur’an dan naskah-naskah awal lainnya dalam pengertian “wewenang” dan “perintah”. Seseorang yang memegang komando atau menduduki suatu jawaban dengan wewenang  tertentu disebut sahib al-amr, sedangkan pemegang amr tertinggi adalah amir.

Pada masa-masa akhir Abad Pertengahan, kata sifat amiri sering digunakan dalam pengertian “hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan atau administrasi”. Sementara itu, di Imperium Turki, bentuk singkat kata ini adalah miri, dengan terjemahan bahasa Turkinya adalah beylik, menjadi kata yang umum digunakan untuk hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan, publik atau resmi. Kata miri juga digunakan untuk menunjukkan perbendaharaan kekayaan negara, kantor-kantor perdagangan pemerintah dan barang-barang milik pemerintah pada umumnya.

Seorang amir adalah seorang yang memerintah, seorang komandan militer, seorang gubenur provinsi atau –ketika posisi kekuasaan diperoleh atas dasar keturunan- seorang putra mahkota. Sebutan ini adalah sebutan yang diinginkan oleh berbagai macam penguasa yang lebih rendah tingkatannya, yang tampil sebagai gubenur provinsi dan bahkan kota yang menguasai wilayah tertentu di kota. Sebutan ini pula bagi mereka yang merebut kedaulatan yang efektif untuk diri mereka sendiri, sambil memberikan pengakuan simbolik yang murni terhadap kedaulatan khalifah sebagai penguasa tertinggi yang dibenarkan dalam Islam.

Istilah amir  ini pertama kali muncul pada masa pemerintahan 'Umar bin al-Khattab. 'Umar menyebut dirinya sebagai amir al-mukminin yang berarti pemimpin kaum yang beriman.


Al-Nisa' ; 59

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا(59)

Al-Baqarah ; 247

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا قَالُوا أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ(247)


Al-Maidah ; 57

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ(57)
Al-Taubah ; 71

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ(71)


Al-Nisa' ; 58

وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُونَ(58)

Posting Komentar Blogger