INGIN IKLAN ANDA DISINI ? Dapatkan Tawaran Menarik Silahkan Kontak Admin Terima Kasih |
Kepemimpinan (leadership)
adalah kegiatan manusia dalam kehidupan. Secara etimologi, kepemimpinan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata dasar “pimpin” yang jika
mendapat awalan “me” menjadi “memimpin” yang berarti menuntun, menunjukkan
jalan dan membimbing. Perkataan lain yang sama pengertiannya adalah mengetuai,
mengepalai, memandu dan melatih dalam arti mendidik dan mengajari supaya dapat
mengerjakan sendiri.
Adapun pemimpin berarti orang yang memimpin atau mengetuai atau mengepalai. Sedang kepemimpinan menunjukkan pada semua perihal dalam memimpin, termasuk kegiatannya.
Adapun pemimpin berarti orang yang memimpin atau mengetuai atau mengepalai. Sedang kepemimpinan menunjukkan pada semua perihal dalam memimpin, termasuk kegiatannya.
Kepemimpinan
adalah masalah relasi dan pengaruh antara pemimpin dan yang dipimpin.
Kepemimpinan tersebut muncul dan berkembang sebagai hasil dari interaksi
otomatis di antara pemimpin dan individu-individu yang dipimpin (ada relasi inter-personal).
Kepemimpinan ini bisa berfungsi atas dasar kekuasaan pemimpin untuk mengajak, mempengaruhi dan menggerakkan orang lain guna melakukan sesuatu demi pencapaian satu tujuan tertentu. Dengan demikian, pemimpin tersebut ada apabila terdapat satu kelompok atau satu organisasi.
Kepemimpinan ini bisa berfungsi atas dasar kekuasaan pemimpin untuk mengajak, mempengaruhi dan menggerakkan orang lain guna melakukan sesuatu demi pencapaian satu tujuan tertentu. Dengan demikian, pemimpin tersebut ada apabila terdapat satu kelompok atau satu organisasi.
Sebenarnya
kepemimpinan merupakan cabang dari ilmu administrasi, khususnya ilmu
administrasi negara. Ilmu administrasi adalah salah satu cabang dari ilmu-ilmu
sosial, dan merupakan salah satu perkembangan dari filsafat. Sedang inti dari
administrasi adalah manajemen.
Dalam kaitannya dengan administrasi dan manajemen, pemimpinlah yang menggerakkan semua sumber-sumber manusia, sumber daya alam, sarana, dana dan waktu secara efektif-efisien serta terpadu dalam proses manajemen dalam suatu kelompok atau organisasi. Keberhasilan suatu organisasi atau kelompok dalam mencapai tujuan yang ingin diraih, bergantung pada kepemimpinan seorang pemimpin. Jadi kepemimpian menduduki fungsi kardinal dan sentral dalam organisasi, manajemen maupun administrasi.
Dalam kaitannya dengan administrasi dan manajemen, pemimpinlah yang menggerakkan semua sumber-sumber manusia, sumber daya alam, sarana, dana dan waktu secara efektif-efisien serta terpadu dalam proses manajemen dalam suatu kelompok atau organisasi. Keberhasilan suatu organisasi atau kelompok dalam mencapai tujuan yang ingin diraih, bergantung pada kepemimpinan seorang pemimpin. Jadi kepemimpian menduduki fungsi kardinal dan sentral dalam organisasi, manajemen maupun administrasi.
Istilah
Kepemimpinan dalam Islam ada beberapa bentuk, yaitu khilafah, imamah,
imarah, wilayah, sultan, mulk dan ri’asah. Setiap istilah ini
mengandung arti kepemimpinan secara umum. Namun istilah yang sering digunakan
dalam konteks kepemimpinan pemerintahan dan kenegaraan, yaitu Khilafah, imamah
dan imarah. Oleh karena itu, pembahasan kepemimpinan dalam Islam akan
diwakili oleh ketiga istilah ini.
Kata khilafah berasal dari kata khalafa-yakhlifu-khalfun yang berarti al-‘aud atau al-balad yakni mengganti, yang pada mulanya berarti belakang. Adapun pelakunya yaitu orang yang mengganti disebut khalifah dengan bentuk jamak khulafa’ yang berarti wakil, pengganti dan penguasa.
Kata khalifah
sering diartikan sebagai pengganti, karena orang yang menggantikan datang
sesudah orang yang digantikan dan ia menempati tempat dan kedudukan orang
tersebut. Khalifah juga bisa berarti seseorang yang diberi wewenang
untuk bertindak dan berbuat sesuai dengan ketentuan-ketentuan orang memberi
wewenang.
Menurut al-Ragib al-Asfahani, arti
“menggantikan yang lain” yang dikandung kata khalifah berarti
melaksanakan sesuatu atas nama yang digantikan, baik orang yang digantikannya
itu bersamanya atau tidak.
Istilah ini di
satu pihak, dipahami sebagai kepala negara dalam pemerintahan dan kerajaan Islam
di masa lalu, yang dalam konteks kerajaan pengertiannya sama dengan kata
sultan. Di lain pihak, cukup dikenal pula pengertiannya sebagai wakil Tuhan di
muka bumi yang mempunyai dua pengertian. Pertama, wakil Tuhan yang
diwujudkan dalam jabatan sultan atau kepala negara. Kedua, fungsi
manusia itu sendiri di muka bumi, sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna.
Menurut M. Dawam
Rahardjo, istilah khalifah dalam al-Qur’an mempunyai tiga makna. Pertama,
Adam yang merupakan simbol manusia sehingga kita dapat mengambil kesimpulan
bahwa manusia berfungsi sebagai khalifah dalam kehidupan. Kedua, khalifah
berarti pula generasi penerus atau generasi pengganti; fungsi khalifah
diemban secara kolektif oleh suatu generasi. Ketiga, khalifah
adalah kepala negara atau pemerintahan.
Khilafah sebagai turunan dari kata khalifah,
menurut Abu al-A‘la’
al-Maududi, merupakan teori Islam tentang negara dan pemerintahan. Adapun
menurut Ibnu Khaldun dalam bukunya Muqaddimah, khilafah adalah
kepemimpinan. Istilah ini berubah menjadi pemerintahan berdasarkan kedaulatan.
Khilafah ini masih bersifat pribadi, sedangkan pemerintahan adalah
kepemimpinan yang telah melembaga ke dalam suatu sistem kedaulatan.
Menurut Imam Baidawi
al-Mawardi dan Ibnu Khaldun, khilafah adalah lembaga yang mengganti
fungsi pembuat hukum, melaksanakan undang-undang berdasarkan hukum Islam dan
mengurus masalah-masalah agama dan dunia. Menurut al-Mawardi, khilafah atau
imamah berfungsi mengganti peranan kenabian dalam memelihara agama dan
mengatur dunia.
Posisi khilafah
ini mempunyai implikasi moral untuk berusaha menciptakan kesejahteraan hidup
bersama berdasarkan prinsip persamaan dan keadilan. Kepemimpinan dan kekuasaan
harus tetap diletakkan dalam rangka menjaga eksistensi manusia yang bersifat
sementara.
Menurut Bernard
Lewis, istilah ini pertama kali muncul di Arabia pra-Islam dalam suatu prasasti
Arab abad ke-6 Masehi. Dalam prasasti tersebut, kata khalifah tampaknya
menunjuk kepada semacam raja muda atau letnan yang bertindak sebagai wakil
pemilik kedaulatan yang berada di tempat lain. Sedangkan setelah Islam datang,
istilah ini pertama kali digunakan ketika Abu Bakr yang menjadi khalifah
pertama setelah Nabi Muhammad.
Dalam pidato inagurasinya, Abu Bakr menyebut dirinya sebagai Khalifah Rasulullah yang berarti pengganti Rasulullah. Menurut Aziz Ahmad, istilah ini sangat erat kaitannya dengan tugas-tugas kenabian yaitu meneruskan misi-misi kenabian.
Dalam pidato inagurasinya, Abu Bakr menyebut dirinya sebagai Khalifah Rasulullah yang berarti pengganti Rasulullah. Menurut Aziz Ahmad, istilah ini sangat erat kaitannya dengan tugas-tugas kenabian yaitu meneruskan misi-misi kenabian.
Khilafah dalam perspektif politik Sunni
didasarkan pada dua rukun, yaitu konsensus elit politik (ijma') dan pemberian
legitimasi (baiat). Karenanya, setiap pemilihan pemimpin Islam, cara yang
digunakan adalah dengan memilih pemimpin yang ditetapkan oleh elit politik,
setelah itu baru dilegitimasi oleh rakyatnya. Cara demikian menurut Harun
nasution, menunjukkan bahwa khilafah bukan merupakan bentuk kerajaan,
tetapi lebih cenderung pada bentuk republik, yaitu kepala negara dipilih dan
tidak mempunyai sifat turun temurun.
Dalam masalah khilafah,
terdapat tiga teori utama, yaitu pendapat pertama menyatakan bahwa pembentukan khilafah
ini wajib hukumnya berdasarkan syari’ah atau berdasarkan wahyu. Para ahli fiqh
Sunni, antara lain Teolog Abu Hasan al-Asy‘ari, berpendapat bahwa khilafah
ini wajib karena wahyu dan ijma’ para sahabat.
Pendapat kedua, antara lain dikemukakan oleh al-Mawardi, mengatakan bahwa mendirikan sebuah khilafah hukumnya fardu kifayah atau wajib kolektif berdasarkan ijma’ atau konsensus. Al-Gazali mengatakan bahwa khilafah ini merupakan wajib syar'i berdasarkan ijma’. Teori terakhir adalah pendapat kaum Mu‘tazilah yang mengatakan bahwa pembentukan khilafah ini memang wajib berdasarkan pertimbangan akal.
Pendapat kedua, antara lain dikemukakan oleh al-Mawardi, mengatakan bahwa mendirikan sebuah khilafah hukumnya fardu kifayah atau wajib kolektif berdasarkan ijma’ atau konsensus. Al-Gazali mengatakan bahwa khilafah ini merupakan wajib syar'i berdasarkan ijma’. Teori terakhir adalah pendapat kaum Mu‘tazilah yang mengatakan bahwa pembentukan khilafah ini memang wajib berdasarkan pertimbangan akal.
Imamah berasal dari akar kata amma-yaummu-ammun
yang berarti al-qasdu yaitu sengaja, al-taqaddum yaitu
berada di depan atau mendahului, juga bisa berarti menjadi imam atau pemimpin
(memimpin). Imamah di sini berarti perihal memimpin. Sedangkan kata imam
merupakan bentuk ism fa’il yang berarti setiap orang yang memimpin
suatu kaum menuju jalan yang lurus ataupun sesat. Bentuk jamak dari kata imam
adalah a’immah.
Imam juga berarti bangunan benang yang diletakkan
di atas bangunan, ketika membangun, untuk memelihara kelurusannya. Kata ini
juga berarti orang yang menggiring unta walaupun ia berada di belakangnya.
Dalam al-Qur’an,
kata imam dapat berarti orang yang memimpin suatu kaum yang berada di
jalan lurus, seperti dalam surat al-Furqan (25) ayat 74 dan al-Baqarah
(2) ayat 124. Kata ini juga bisa berarti orang yang memimpin di jalan
kesesatan, seperti yang ditunjukkan dalam surat al-Taubah ayat 12 dan al-Qashas (28) ayat 41. Namun lepas dari
semua arti ini, secara umum dapat dikatakan bahwa imam adalah seorang
yang dapat dijadikan teladan yang di atas pundaknya terletak tanggung jawab
untuk meneruskan misi Nabi SAW. dalam menjaga agama dan mengelola serta
mengatur urusan Negara
Term imamah sering
dipergunakan dalam menyebutkan negara dalam kajian keislaman. Al-Mawardi
mengatakan bahwa imam adalah khalifah, raja, sultan atau kepala negara.
Ia memberi pengertian imamah sebagai lembaga yang dibentuk untuk
menggantikan Nabi dalam tugasnya menjaga agama dan mengatur dunia. Sebagai
tokoh perumus konsep imamah, ia menggagas perlunya imamah, dengan
alasan, pertama adalah untuk merealisasi ketertiban dan perselisihan. Kedua,
berdasarkan kepada surat al-Nisa’ (4) ayat 59, dan kata uli al-amr
menurutnya adalah imamah.
Adapun Taqiyuddin
al-Nabhani menyamakan imamah dengan khilafah. Menurutnya, khilafah
adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslimin di dunia untuk menegakkan
hukum-hukum Syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke segenap penjuru dunia.
Adapun al-Taftazani menganggap imamah dan Khilafah adalah
kepemimpinan umum dalam mengurus urusan dunia dan masalah agama.
Menurut Ibnu Khaldun,
imamah adalah tanggung jawab umum yang dikehendaki oleh peraturan
syariat untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat bagi umat yang merujuk
padanya. Oleh karena kemaslahatan akhirat adalah tujuan akhir, maka
kemaslahatan dunia seluruhnya harus berpedoman kepada syariat. Adapun penamaan
sebagai imam untuk menyerupakannya dengan imam salat adalah dalam hal bahwa
keduanya diikuti dan dicontoh.
Pada dasarnya teori
imamah lebih banyak berkembang di lingkungan Syi’ah daripada lingkungan
Sunni. Dalam lingkungan Syi’ah, imamah menekankan dua rukun, yaitu
kekuasaan imam (wilayah) dan kesucian imam (‘ismah).
Kalangan Syi’ah menganggap imamah adalah kepemimpinan agama dan politik
bagi komunitas muslim setelah wafatnya Nabi, yang jabatan ini dipegang oleh Ali
bin Abi Talib dan keturunannya, dan mereka maksum.
Istilah ini muncul
pertama kali dalam pemikiran politik Islam tentang kenegaraan yaitu setelah
Nabi SAW. wafat pada tahun 632 M. Konsep ini kemudian berkembang menjadi
pemimpin dalam salat,
dan –setelah diperluas lingkupnya- berarti pemimpin religio-politik (religious-political
leadership) seluruh komunitas Muslim, dengan tugas yang diembankan Tuhan
kepadanya, yaitu memimpin komunitas tersebut memenuhi perintah-perintah-Nya.
Menurut Ali Syariati, tidak mungkin
ada ummah tanpa imamah. Imamah
tampak dalam sikap sempurna pada
saat seseorang dipilih karena mampu menguasai massa dan menjaga mereka dalam
stabilitas dan ketenangan, melindungi mereka dari ancaman, penyakit dan bahaya,
sesuai dengan asas dan peradaban ideologis, sosial dan keyakinan untuk
menggiring massa dan pemikiran mereka menuju bentuk ideal. Dalam pemikirannya
mengenai imamah dan khilafah,
Ali syariati menganggap khilafah cenderung ke arah politik dan jabatan,
sedangkan imamah cenderung mengarah ke sifat dan agama.
Imarah berakar kata dari amara-ya'muru-amrun
yang berarti memerintah, lawan kata dari melarang. Pelakunya disebut amir yang berarti pangeran, putra mahkota, raja (al-malik),
kepala atau pemimpin (al-ra’is), penguasa (wali). Selain itu juga
bisa berarti penuntun atau penunjuk orang buta, dan tetangga. Adapun bentuk
jamaknya adalah Umara’.
Kata amara muncul
berkali-kali dalam al-Qur’an dan naskah-naskah awal lainnya dalam pengertian
“wewenang” dan “perintah”. Seseorang yang memegang komando atau menduduki suatu
jawaban dengan wewenang tertentu disebut
sahib al-amr, sedangkan pemegang amr tertinggi adalah amir.
Pada masa-masa
akhir Abad Pertengahan, kata sifat amiri sering digunakan dalam
pengertian “hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan atau administrasi”.
Sementara itu, di Imperium Turki, bentuk singkat kata ini adalah miri,
dengan terjemahan bahasa Turkinya adalah beylik, menjadi kata yang umum
digunakan untuk hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan, publik atau
resmi. Kata miri juga digunakan untuk menunjukkan perbendaharaan
kekayaan negara, kantor-kantor perdagangan pemerintah dan barang-barang milik
pemerintah pada umumnya.
Seorang amir
adalah seorang yang memerintah, seorang komandan militer, seorang gubenur
provinsi atau –ketika posisi kekuasaan diperoleh atas dasar keturunan- seorang
putra mahkota. Sebutan ini adalah sebutan yang diinginkan oleh berbagai macam
penguasa yang lebih rendah tingkatannya, yang tampil sebagai gubenur provinsi
dan bahkan kota yang menguasai wilayah tertentu
di kota . Sebutan ini pula bagi mereka yang
merebut kedaulatan yang efektif untuk diri mereka sendiri, sambil memberikan
pengakuan simbolik yang murni terhadap kedaulatan khalifah sebagai
penguasa tertinggi yang dibenarkan dalam Islam.
Istilah amir ini pertama kali muncul pada masa pemerintahan 'Umar bin al-Khattab. 'Umar menyebut dirinya sebagai amir al-mukminin yang berarti pemimpin kaum yang beriman.
Al-Nisa'
; 59
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ
كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا(59)
Al-Baqarah
; 247
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ
طَالُوتَ مَلِكًا قَالُوا أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ
بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ
عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ
مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ(247)
Al-Maidah
; 57
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا
مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ(57)
Al-Taubah
; 71
وَالْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ(71)
Al-Nisa'
; 58
وَإِذَا
نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ
لَا يَعْقِلُونَ(58)
Posting Komentar Blogger Facebook