INGIN IKLAN ANDA DISINI ?
Dapatkan Tawaran Menarik
Silahkan Kontak Admin
Terima Kasih


Islam, tidak diterima periwayatan dari orang kafir atau fasiq sebagaimana firman Allah dalam QS. Al Hujurat: 6
Artinya :Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

Baligh, yaitu sudah dapat membedakan yang baik dan buruk dan telah dibebankan hokum (mukallaf), terangkat hukum dari 3 hal: orang gila hingga sembuh,orang tidur hingga bangun, anak kecil hingga baligh (sebagaimana hadits)

Adil, yaitu perawi disamping memiliki kriteria sebagai muslim, balig dan berakal, juga memiliki sifat-sifat sempurna baik berkaitan dengan keimanan, ibadah maupun akhlak sehingga terpelihara keimanan dan ketaqwaannya, menjauhkan diri dari dosa dan mawas diri dari perbuatan yang menodai sikap muru’ah, adil juga berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya sesuai syari’at Islam. Istilah lain yang sering dipakai pada kriteria ini adalah ‘adalah.

Dhabit yaitu orang yang mempunyai kekuatan atau kemampuan lebih, dabit dibagi kepada dua: Dhabit sadran yaitu orang yang yang kuat hafalan serta daya ingatnya, tidak pelupa. Dhabit kitaban yaitu orang yang teliti dan hati-hati dalam penulisan.

http://www.ponpeshamka.com/2015/10/penjelasan-macam-dan-lafal-penerimaan.html

Sima’i yaitu :Seoang guru membaca hadits baik dari hafalannya atau dari kitabnya sedang hadirin mendengarnya baik majlis untuk imla’ atau yang lainnya. 
Qira’ah ‘ala syaikh yaitu : Membacakan dihadapan guru atau ‘aradh Qiraah (menyodorkan bacaan), baik dari hafalan atau dari kitab yang diteliti,sedangkan guru menyimaknya dari hafalan atau kitab asal untuk mengeceknya, kadangkala bukan guru yang mengecek tapi orang yang telah diberi kepercayaan. 
  
Al Ijazah yaitu: Sertifikasi atau rekomendasi seorang guru memberikan kewenangan (izin) untuk meriwayatkan sebagian riwayatnya yang telah ditentukan kepada seseoang atau beberapa orang yang telah ditentukan pula, tanpa membacakan semua hadits yang diijazahkan. 
Al Munawalah yaitu: Seorang ahli hadits memberikan sebuah hadits atau kitab kepada muridnya, agar murid meriwayatkan darinya. 
  
Al Mukatabah yaitu: Seorang guru menulis dengan tangannya sendiri atau meminta orang lain menulis darinya sebagian haditsnya untuk seorang murid yang ada dihadapannya atau murid yang berada ditempat lain lalu mengirimkannya kepada sang murid. Mukatabah ada dua bentuk: disertai ijazah dan tanpa ijazah. 
  
I`lam ‘ala Syekh yaitu: Guru memberitahukan kepada muridnya bahwa hadits tertentu atau kitab tertentu bagian dari riwayat-riwayatnya dan telah didengarnya atau diambilnya dari seseorang. 
Al Washiyah yaitu: Seorang guru berwasiat, sebelum bepergian jauh atau sebelum meninggal, agar kitab riwayatnya diberikan kepada seseorang untuk meriwayatkan darinya. Metode ini metode yang paling lemah, ia tidak boleh menggunakan ungkapan: ”telah meriwayatkan kepada ku sifulan begini”, karena yang mewasiatkan memang tidak meriwayatkan kepadanya. 
  
Al Wijadah (penemuan): Ilmu yang didapat dari atau diambil dari Shahifah tanpa ada proses mendengar, mendapatkan ijazah atau proses Munawalah.metode ini pada masa klasik amat langka, karena mayoritas ulama mereka mengutamakan periwayatan langsung melalui mendengar (sima’i) atau menyodorkan hafalan (qiraah ‘ala syeikh). 


Kelayakan seorang penerima hadist, pada dasar tidak tergantung kepada umur, suku, keturunan kecil,besarnya seseorang, namun ditentukan oleh tamyizm, walaupun umurnya kurang dari lima tahun kalau sudah mampu membedakan antara yang baik dan benar berarti layak sebagai penerima hadist

Metode dalam menerima hadist terdiri dari : 
  • Metode sima’i 
  • Metode qira’ah ‘ala syekh 
  • Metode al-ijazah 
  • Metode al-munawalah 
  • Metode al-mukatabah 
  • Metode i’lam ‘ala syekh 
  • Metode al-wasyiah 
  • Metode al-wijadah 

Setiap bentuk tahammul memiliki padanan dengan bentuk ada`, karena apa yang diterima oleh seseorang pada suatu waktu akan diberikannya pada waktu lain.bahkan tahammul itu juga hasil dari ada` sebelumnya

Para ulama sangat antusias menjelaskan metode tahammul yang digunakannya waktu menyampaikan (ada`) riwayat, karena tahammul itu memiliki tingkat yang berbeda-beda.Ulama sepakat untuk wajib membedakan riwayat yang tahammulnya dengan Sima’i dan Qira’a ala syeikh terhadap yang lain, karena metode sima’i dan Qiraah ‘ala syeikh adalah penerimaan secara langsung.

Perawi yang menerima hadits dengan cara sima’i akan menyatakan“Sami’tu”, “Hadattssana”, ”Akhbarana” atau “Anbaa`ana”. Semuanya bermakna periwayatan hadits, ungkapan yang paling tinggi adalah “Sami’tu”, jarang digunakan kata “Qaala” atau “zakarali”. Ungkapan ini digunakan untuk sima’I yang disebutkan oleh seorang perawi yang diketahui pertemuannya dengan gurunya. 

Riwayat melalui Qira’ah alasyikh, seorang perawi akan mengatakan: ”Qara’tu ala fulan”, atauQara’tu ‘ala fulan wa ana asma’uhu (bila pembacanya orang lain), ada juga yang mengungkapkan : “hadatstsana, Akhbarana, mayoritas ulama menggunakan “Akhbarana”. ini yang popular. Ahli hadits tidak menggunakan “’an” untuk sima’I dan Qiraah ‘Ala syeikh.”’an” umumnya digunakan untuk mentadliskan riwayat yang tidak diperoleh melalui sima’i. 

Berkenaan dengan ijazah, perawi mengungkapkan :”Akhbara Fulan ijazah , atau Fiima ajaazani fulan. 

Berkenaan dengan Munawalah, perawi mengungkapkan “Akhbarana Muna walah, Fiima nawalani, sebagian berpendapat dalam munawalah, perawi mengatakan “Qala”, atau “ ’an fulan”. 
Dalam Mukatabah, rawi mengatakan: “Kataba ilayya fulan”, Qala : “Hadatstsana fulan”. 
Riwayat yang diterima dengan cara I’lam ala syeikh, perawi mengatakan: fiima a’lamani syeikh, atau lainnya yang senada, tapi jarang atau tidak ditemukan pada masa-masa terdahulu. 

Cara wasiat menurut yang memperbolehkannya, adalah dengan menjelaskan hal itu sewaktu menyampaikannya. Misalnya perawi mengatakan: ”telah mewasiatkan kepadaku Fulan dengan cara wasiat”. A’jaj Khatib (kami) tak menemukan seorang pun ulama mutaqaddimin yang meriwayatkan dengan cara wasiat. 

Periwayatan yang diterima dengan cara Wijadah, mayoritas ulama mewajibkan menyertakan penjelasan mengenai hal ini, missal perawi mengatakan: ”Wajadtu fi kitab fulan”, atau ungkapan lain yang senada. 


Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lafal-lafal dalam meriwayatkan hadist berhubungan dengan bagaimana cara perawi dalam menerima hadist, yaitu

1. Metode sima’i lafal menyampaikannya dengan sami’tu
2. Metode qira’ah ‘ala syekh lafal menyampaikannya dengan Qaraktu ala fulan
3. Metode al-ijazah lafal menyampaikannya dengan akhbarana fulan ijazah
4. Metode al-munawalah Akhbarana Muna walah, Fiima nawalani
5. Metode al-mukatabah lafal meyampaikan hdistnya dengan Kataba ilayya fulan
6. Metode i’lam ‘ala syekh lafal menyampaikan hadistnya dengan fiima a’lamani syeikh
7. Metode al-wasyiah lafal menyampaikan hadistnya dengan ausha alaiya fulanun
8. Metode al-wijadah lafal menyamaikan hadistnya dengan Wajadtu fi kitab fulan

Posting Komentar Blogger